Mohon tunggu...
NDY
NDY Mohon Tunggu... Pengajar

Adakala ketika kita mencoba bersama untuk bergerak, sebagian ada yang mundur teratur. Adakala ketika kita terdiam semua bergerak...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mbak Cucum

18 Februari 2022   00:37 Diperbarui: 18 Februari 2022   00:42 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di luar masih tampak gelap, namun tak lama gelap itu akan hilang dengan munculnya sang fajar

Segera kurapihkan beberapa dokumen yang harus kubawa dalam perjalanan dinas hari ini. Putri bungsuku, Syafa masih terlelap dalam tidur, tenang sambil memeluk boneka kesayangannya. Juli lalu usianya genap 2 tahun. 

"Ma, ini tas yang akan dibawa?" tanya Said, anakku yang tertua di depan pintu kamar. Spontan aku meletakan telunjuk dibibirku agar dia memelankan suara. Sejenak kulirik Syafa, syukurlah anak itu masih terlelap.

Kuberi tanda agar Said keluar dari kamar, kuraih tas ranselku yang berisi berkas dan laptop. Pagi ini aku harus segera tiba di titik kumpul tempat rombongan dinas akan berangkat. Ingin aku mencium kening anakku, tetapi ada rasa khawatir akan mengganggu tidurnya yang lelap.

Tidak berapa lama terdengar suara pintu pagar terbuka, Said yang tengah mengeluarkan motor membalas salam mbak Cucum . Si mbak tidak segera masuk dia meraih tas travel yang terletak dilantai dan menyerahkan kepada Said. 

“Ibu sudah sarapan belum?” tanya mbak Cucum mencemaskan ku yang masih sibuk memeriksa isi tas.
“Sudah, mbak, “jawabku tersenyum. Lega rasanya bahwa isi tas sudah lengkap. “Ku titip Syafa ya mbak. Uang belanja sudah ibu siapkan di meja kamar. Tolong mbak atur buat anak-anak.”

"Ma, sudah siap belum?" suara Said mengingatkanku untuk bergegas. Kuhentikan langkahku, kembali aku menuju kamar. Perlahan kukecup kening putri bungsuku kemudian menuju pintu. 

"Bu bawa bekal dan teh hangat ini, ibu belum sarapan nanti malah sakit," mbak Cucum menyodorkan tas kain berisi tempat minum dan bekal. 

Fajar meronakan warna abu-abu, memberi tanda pagi akan segera datang. Suhu pendingin pada minibus terasa menusuk dikulit wajahku. Kurapatkan jaketku hingga menutupi leher, rekan timku disebelah tampak lelap sedikitpun tidak merasa terganggu oleh goncangan ban yang beradu dengan aspal.

Tanpa sengaja tanganku menyentuh tas kain yang berada di samping ranselku, tas berisi bekal yang disiapkan Mbak Cucum.  Kubuka tempat bekal yang berisi dua iris roti dengan selai kacang yang dioles sembarang dan sebutir telur rebus. "Ya Tuhan, kapan si mbak menyiapkannya." Batinku.

Setelah menikmati roti dan telur rebus, kusandarkan tubuhku dengan rasa nyaman. Kunikmati pemandangan pagi dari balik jendela minibus, sinar matahari menyinari barisan pohon membentuk bayangan yang terus bergerak seiring mobil melaju.

"Ibu sudah ada uangnya belum?" tanya Mbak Cucum memandang ragu amplop putih di tanganya. "Kalau ibu belum ada uang, nanti saja bu." Lanjutnya sambil menyerahkan kembali amplop tersebut ke tanganku.

Ya, Tuhan. Aku memandang Mbak Cucum dengan rasa kagum, setiap aku memberikan gaji bulanan ucapan itu seringkali dia sampaikan. Hal ini terjadi sejak aku dirawat di rumah sakit hampir 3 minggu. Selama masa perawatan, samar-samar aku mendengar Mbak Cucum menangis, mendoakan agar aku bertahan untuk ketiga anakku.

Sudah 3 tahun berjalan Mbak Cucum telah membantu pekerjaan di rumah, begitu telaten dia merawat Syafa sejak bayi. Kedua anakku yang lain juga dekat dengannya. Orangnya pendiam, dia rajin selalu mengerjakan pekerjaan rumah tanpa kuminta. Perawakannya sedang, memiliki rambut ikal sebahu dan berkulit sawo matang.  Dia menikah di usia muda dan memiliki anak laki-laki berusia 11 tahun. Pada tahun pertama bekerja di rumah, seringkali aku melihat ada lebam di tangan atau di wajahnya. Ketika kutanya, dia menjawab bahwa dia terjatuh atau ceroboh saat bekerja. Hingga suatu malam dia datang ke rumah bersama anaknya, wajah kusut dan lebam. Ternyata dia korban tindak kekerasan dari suaminya. Kuberi dia penguatan agar melaporkan ke RT dan RW juga aparat. Hingga akhirnya dia memutuskan perceraian secara hukum. 

Selama di pengadilan agama ku dampingi dia. Dia begitu ketakutan ketika melihat suaminya hadir pada sidang yang ke tiga. Rasa lega muncul diwajahnya ketika pengadilan memutuskan perceraian, dia akan menjalani kehidupan yang baru. 

"Hayo, ngelamunin pacar ya bu. " Suara rekan kerjaku mengejutkanku. Aku tersenyum dan memperbaiki posisi duduk.

"Sekarang giliran aku tidur, ya. " Candaku. Dia terkekeh kemudian meraih botol minuman.

Kupejamkan mataku, kupeluk tubuhku dengan kedua lenganku. 

"Terima kasih, Mbak Cucum. Terima kasih sudah menemaniku selama ini." Ucapku dalam hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun