Pemilu 2024 menjadi titik balik menarik dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Jika dulu kampanye identik dengan baliho raksasa, iklan televisi, dan rapat akbar di lapangan, kini wajah politik berubah drastis. Perkembangan teknologi digital membuat TikTok, Instagram, YouTube, dan Twitter menjadi medan baru pertarungan politik.
Perubahan ini tidak bisa dilepaskan dari profil pemilih. Berdasarkan data KPU, lebih dari 56% pemilih pada Pemilu 2024 adalah generasi milenial dan Gen Z, sekitar 113 juta suara. Mereka tumbuh dengan smartphone, terbiasa scrolling, dan akrab dengan dunia digital. Tidak heran, partai politik dan kandidat berlomba-lomba merancang strategi komunikasi yang lebih segar, kreatif, dan tentu saja viral.
Artis Turun Gunung, Politik Jadi Panggung Hiburan?
Fenomena artis nyaleg bukan hal baru, tapi semakin masif. Menurut catatan, ada 76 artis yang maju sebagai caleg di Pemilu 2024. Nama-nama seperti Eko Patrio, Desy Ratnasari, Krisdayanti, Rachel Maryam, hingga Ahmad Dhani masuk dalam daftar caleg berbagai partai.
Strateginya jelas: menggunakan popularitas artis untuk mendongkrak elektabilitas partai. Publik sudah mengenal wajah mereka, sehingga partai tak perlu kerja keras membangun citra dari nol.
Namun, hal ini memunculkan pertanyaan serius: apakah popularitas sebanding dengan kapasitas? Demokrasi seharusnya melahirkan pemimpin yang berkompeten, bukan sekadar figur terkenal. Fenomena artis nyaleg menunjukkan bahwa politik masih sering diperlakukan layaknya panggung hiburan.
Perang Konten di Media Sosial
Selain artis, strategi komunikasi lain yang kini jadi senjata pamungkas adalah perang konten di media sosial. Setiap partai punya cara unik membungkus pesan politiknya.
- PSI rajin membuat konten digital berisi ideologi dan sikap politik mereka. Dari YouTube hingga Instagram, pesan dikemas dengan bahasa anak muda.
- PAN mengandalkan jingle lagu kampanye yang viral, seperti "PAN PAN PAN Terdepan" yang ramai diunggah di YouTube.
- PKS aktif di kanal YouTube PKS TV dengan puluhan ribu subscriber. Mereka menampilkan flashmob, audisi film, hingga konten kreatif seputar kegiatan partai.
- Perindo membangun branding lewat program nyata seperti ambulans gratis dan grobak usaha rakyat, lalu memperkuatnya dengan jingle dan iklan televisi.
Di era digital, konten yang ringan, menghibur, dan mudah dibagikan jauh lebih efektif dibanding pidato formal. Politik tidak lagi hanya soal ide, tapi juga soal bagaimana ide itu dikemas agar sesuai dengan budaya digital anak muda.
Demokrasi di Ujung Jari
Kehadiran media sosial menjadikan politik semakin dekat dengan masyarakat. Diskusi, debat, bahkan perang komentar terjadi di kolom reply. Pemilih muda bisa langsung menyuarakan pendapatnya, mendukung atau mengkritik kandidat tanpa harus hadir di panggung kampanye.