Mohon tunggu...
Nurbaya Saogo
Nurbaya Saogo Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi saya masak, mancing, voli ball, berenang, suka buat kue-kue an, dan belajar menulis dan berkonten di Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Aksesoris Mentawai di Tengah Kota: Ketika Tradisi Tak Pernah Pudar"

15 Juli 2025   14:00 Diperbarui: 15 Juli 2025   13:04 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah hiruk-pikuk kota dan arus modernisasi yang terus melaju, siapa sangka sebuah tradisi yang telah berakar ratusan tahun lalu masih tetap hidup dan bersinar?

Hari itu, sebuah lorong kecil di kota Medan menjadi saksi bisu bagaimana budaya dan identitas tetap dihidupi melalui senyum, semangat, dan... aksesoris Mentawai.

Pagi itu tak ada yang berbeda, kecuali sekelompok pemuda dan pemudi yang berdiri berjajar, mengenakan hiasan kepala berwarna-warni, anyaman kain khas, dan gelang kayu yang menggambarkan suku asli Mentawai. 

Di balik senyum mereka, tersimpan semangat untuk tidak hanya mengenakan budaya---tetapi menghidupinya.

Kami ada sebagian bukan orang Mentawai, sebagian dari kami bahkan belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Siberut. 

Tapi melalui kegiatan budaya di kampus ini, kami belajar bahwa budaya bukan hanya milik satu etnis---budaya adalah warisan nilai yang bisa dihormati dan dihidupi oleh siapa saja yang mau menghargainya.

Aksesoris Mentawai bukan sekadar hiasan kepala atau kain pinggang biasa. 

Setiap warna mencerminkan hubungan manusia dengan alam: merah untuk keberanian, kuning untuk semangat hidup, biru sebagai lambang langit yang menaungi mereka. 

Bulu-bulu warna-warni yang menghiasi kepala melambangkan kebebasan, keterhubungan dengan alam, dan ekspresi jiwa yang merdeka.

Bagi masyarakat Mentawai, aksesoris ini digunakan dalam ritual adat, tarian, hingga proses penyembuhan oleh Sikerei (dukun atau pemimpin spiritual). 

Tapi hari itu, kami memakainya bukan untuk ritual, melainkan sebagai bentuk penghormatan. 

Sebuah pesan: "Kami melihatmu, kami menghargaimu, dan kami belajar darimu."

Sangat mudah bagi generasi muda untuk terhanyut dalam arus budaya populer. 

Musik K-pop, fashion ala Barat, gaya hidup urban---semuanya seperti magnet yang kuat. Tapi ketika kita lupa siapa diri kita, maka kita juga kehilangan arah ke mana kita akan melangkah.

Kegiatan kecil seperti ini---berfoto bersama dengan mengenakan aksesoris budaya---mungkin tampak sederhana. 

Tapi bagi kami, ini adalah momen pembelajaran. Sebuah jeda dari rutinitas akademik, tempat kami kembali mengenali bahwa Indonesia tidak hanya luas secara geografi, tapi juga dalam kekayaan budaya yang layak dihidupi dan dibanggakan.

Banyak yang berkata budaya akan punah. 

Tapi aku percaya, budaya tidak akan punah jika kita memilih untuk melanjutkannya. 

Hari itu, kami memilih untuk menjadi jembatan antara tradisi dan masa depan. 

Bukan dengan menjadi ahli adat, tapi dengan menghargai akar sambil tumbuh di dunia yang terus berubah.

Dan siapa tahu, mungkin anak-anak muda yang melihat kami hari itu tersenyum bukan karena warna-warni bulu di kepala kami, tapi karena mereka juga ikut merasakan bahwa tradisi masih bisa hidup---bahkan di tengah kota.

Tak semua orang punya akar yang sama. Tapi kita semua punya pilihan: apakah akan membiarkan budaya memudar, atau menjadi bagian dari mereka yang menjaganya tetap hidup?

Hari itu kami memilih untuk menjaga, meski hanya lewat satu aksesori dan satu senyuman.

Kalau kamu juga ingin berbagi cerita budaya, mulai saja dari apa yang ada di sekitarmu. 

Karena tradisi bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk terus dilanjutkan---dengan cara yang sederhana namun bermakna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun