Etika profesi akuntansi dan auditing kembali menjadi sorotan publik ketika terjadi kasus pelanggaran integritas dalam laporan keuangan yang melibatkan salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia, yaitu PT Kimia Farma Tbk. Kasus ini tidak hanya berdampak pada reputasi perusahaan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas proses audit dan tanggung jawab profesional auditor.
PT Kimia Farma Tbk: Manipulasi Laporan Keuangan 2001
Pada akhir 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan laba bersih sebesar Rp 132,3 miliar, namun audit ulang oleh Bapepam mengungkap bahwa nilai sebenarnya hanya sekitar Rp 99,6 miliar. Artinya perusahaan menggelembungkan laba sebesar Rp 32,7 miliar, yang setara dengan 2,3% dari penjualan dan hampir 25% dari laba bersih
Adapun cara manipulasi yang digunakan mencakup:
•Penggelembungan nilai persediaan, dengan cara membuat dua versi daftar harga persediaan (master prices). Satu versi digunakan untuk keperluan audit dengan nilai lebih tinggi, yang membuat nilai persediaan dan laba perusahaan tampak lebih besar dari kenyataannya.
•Pencatatan penjualan fiktif, terutama di unit-unit yang tidak dijadikan sampel oleh auditor eksternal.
•Pemanfaatan kelemahan sistem akuntansi internal, termasuk dalam kontrol terhadap transaksi dan pengakuan pendapatan.
🧾 PERAN AUDITOR dan KELALAIAN PROFESIONAL
Auditor laporan keuangan Kimia Farma saat itu adalah Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta & Mustofa (anggota Deloitte Touche Tohmatsu). Meski laporan keuangan dinyatakan "wajar tanpa pengecualian", nyatanya auditor gagal mendeteksi manipulasi yang terjadi.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai profesionalisme dan skeptisisme auditor, serta pengawasan terhadap independensi dan objektivitas audit. Karena pengungkapan keuangan adalah elemen vital dalam pengambilan keputusan investasi, kegagalan audit seperti ini merusak kepercayaan publik dan investor.
⚖️ Sanksi dan Tindakan Regulasi
Kasus ini mendorong Bapepam (kini OJK) untuk memberikan sanksi administratif terhadap pihak-pihak yang terlibat:
^Direksi Kimia Farma dikenai denda administratif sebesar Rp500 juta, dan beberapa eksekutif diharuskan mengundurkan diri dari jabatannya.
^Auditor partner juga dikenai sanksi berupa teguran keras dan pencabutan izin praktik sementara.
^Reputasi Kimia Farma sempat menurun tajam, dan sahamnya mendapatkan perhatian khusus dari Bursa Efek Jakarta (kini BEI).
KESIMPULAN DARI Kasus manipulasi laporan keuangan Kimia Farma tahun 2001 adalah bukti bahwa tanpa etika, transparansi, dan pengawasan yang kuat, laporan keuangan dapat menjadi alat manipulatif yang merugikan publik. Penggelembungan laba sebesar Rp32,7 miliar bukan sekadar angka—ini adalah pelanggaran kepercayaan publik dan kerusakan reputasi yang tidak ternilai.