Teringat ketika saya sedang ikut pelatihan mengajar anak kelas 5 SD. Ternyata konflik yang terjadi sesama teman kelas 5 SD, berbeda dengan konflik yang terjadi di usia dini, pra sekolah.Â
Saya cukup mengalami kesulitan dalam menghadapinya, karena kata-kata sebagai guru harus berbobot, tidak hanya "Ya, sudah lah, tidak usah diperpanjang. Maafkan saja." atau "Ya, namanya juga anak-anak."
Di saat jam istirahat, anak yang memiliki konflik tersebut mendekati saya dan mencurahkan isi hatinya, kekesalannya, dan rasa emosinya dia kepada saya. Saya terdiam, sembari memikirkan kata-kata yang bisa dicerna oleh anak itu.
Ketika, anak itu selesai mencurahkan isi hatinya, saya pun mulai bicara.
"Ada salah, ada benar. Kita tidak akan tahu suatu hal yang benar jika kita tidak melalui hal yang salah."
"Tapi kak, dia itu sudah sering diberitahu hal yang benar, tapi selalu saja seperti itu. Dia itu memang nakal!" Tegas anak itu.
"Menurut kamu, apakah kamu butuh teman seperti dia?" Tanya saya.
"Ga!" Marah dia.
"Tapi, kalau tidak ada dia yang selalu berbuat salah, apakah kamu  menjadi benar?"
Anak itu pun terdiam. Dia pun mulai tersenyum dan "Iya, kak. Saya mengerti." Senyum dia.
Menjadi guru bagi saya menyenangkan. Mendengarkan curahan hati mereka, dan mencoba mencari solusi yang membuat mereka tersenyum kembali.