Mohon tunggu...
Money

Akad Salam dalam Perbankan Syariah, Rugikah Jika Diterapkan?

8 Desember 2016   19:04 Diperbarui: 8 Desember 2016   19:10 8464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia sedang mengalami kemajuan yang pesat. Pernyataan ini ditandai dengan jumlah aset yang dimiliki sektor perbankan syariah. Seperti yang dilansir oleh sindonews pada hari selasa, 6 September 2016 bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Juni 2016, sektor perbankan syariah memiliki total aset sebesar Rp 306,23 Triliun. Aset perbankan syariah tersebut tumbuh sebesar 11,97% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Hal ini tentu merupakan kebanggaan tersendiri bagi sektor perbankan syariah karena perbankan syariah masih terbilang baru di Indonesia akan tetapi mampu menyaingi perbankan konvensional, bahkan ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997 perbankan syariah mampu bertahan dengan tetap memberikan kinerja yang cukup baik sehingga pemerintah dan otoritas moneter berupaya membantu perkembangannya melalui peluncuran dual banking system dengan terbitnya UU No. 10 Tahun 1998. Kemudian dengan lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 semakin memperjelas landasan operasi bagi bank syariah dan menjadi tonggak penting nasib perbankan syariah di Indonesia.

Akan tetapi perbankan syariah tidak boleh senang dulu, karena dengan berkembangnya perbankan syariah maka tantangan yang dihadapi akan semakin besar dan persaingan akan semakik ketat. Oleh karena itu para bankir harus lebih inovatif dalam mengembangkan produk-produknya. Jadi tidak hanya terpaku pada produk-produk tertentu saja yang bisa dikatakan produk tersebut tidak jauh berbeda dengan produk perbankan konvensional, hanya nama saja yang berbeda.

Dalam mengeluarkan pembiayaan, rata-rata perbankan syariah lebih banyak menggunakan pola akad murabahah. Memang ada juga yang menggunakan pola akad lainnya seperti mudharabah, musyarakah dll tetapi hanya sedikit. Hal ini dapat dilihat dari data yang diterbitkan OJK tentang pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah.

Tabel

Komposisi Pembiayaan yang diberikan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah


Jutaan Rupiah

Akad

2014

2015

September 2016

Mudharabah

15.061

15.698

15.591

Musyarakah

49.478

60.816

69.349

Murabahah

117.380

122.118

136.859

Salam

Istishna’

633

770

855

Ijarah

11.621

10.635

9.338

Qardh

5.965

3.951

4.063

Sumber : Statistik Perbankan Syariah September 2016 (Otoritas Jasa Keuangan, 2016)

Dari tabel tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bank syariah lebih banyak menyalurkan dananya dalam bentuk murabahah dibandingkan dengan akad-akad yang lain. Terlebih lagi untuk akad salam yang ditandai dengan angka 0, padahal akad salam yang merupakan jual beli pesanan bisa menjadi solusi bagi para produsen atau konsumen. Tetapi mengapa perbankan syariah tidak menerapkannya?

Didalam UU perbankan syariah dijelaskan yang dimaksud dengan “Akad Salam” adalah akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati. Menurut PSAK 103, Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan pengiriman dikemudian hari oleh muslam ilaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Pada akad jual beli salam, barang yang diperjual belikan belum tersedia pada saat transaksi itulah mengapa akad salam disebut jual beli pesanan.

Jual beli salam tidak sama dengan jual beli ijon karena dalam jual beli salam kualitas dan kuantitas barang serta waktu penyerahannya sudah ditentukan dan disepakati sebelumnya. Karena itu, didalamnya tidak ada unsure gharar. Bila panen buah-buahannya kurang, penjual harus memenuhinya dari pohon yang lain. Tetapi bila lebih maka kelebihannya menjadi milik penjual.

Di perbankan syariah, jual beli salam lazim ditetapkan pada pembelian alat-alat pertanian, barang-barang industri, dan kebutuhan rumah tangga. Nasabah yang memerlukan biaya untuk memproduksi barang-barang industri bisa mengajukan permohonan pembiayaan ke bank syariah dengan system jual beli salam. Bank dalam hal ini berposisi sebagai pemesan (pembeli) barang yang akan diproduksi oleh nasabah. Untuk itu, bank membayar harganya secara kontan. Pada waktu yang ditentukan, nasabah menyerahkan baarng pesanan tersebut kepada bank.

Dalam praktiknya di perbankan syariah, akad salam diaplikasikan setidaknya dengan tiga model sebagai berikut:

  • Pertama, model akad Salam Tunggal Hakiki, dimana bank benar-benar melakukan pembelian barang dan kemudian terjun langsung dalam bisnis penjualan barang itu.
  • Kedua, model akad Salam Tunggal Hukmi (formal), dimana bank tidak benar-benar bermaksud membeli barang karena setelah itu bank menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan akad Bay’ Murabahah Bitsaman Ajil atau menyuruh menjualnya kepada pihak lain dengan akad wakalah.
  • Ketiga, model akad Salam Paralel, dimana bank melakukan dua akad salam secara simultan, yakni akad salam dengan nasabah yang butuh barang dan akad salam dengan nasabah yang butuh dana untuk memproduksi barang.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa bank tidak selalu mudah untuk menjual kembali barang industri yang dibelinya itu, baik kepada pihak ketiga maupun kepada nasabah. Untuk itu, dilakukanlah akad salam paralel, yaitu dua akad salam yang dilakukan secara simultan antara bank dan nasabah di satu pihak dan antara bank dan pemasok barang (supplier) di pihak lain.

Akan tetapi, meskipun sudah dimudahkan dengan dibentuknya salam paralel tetap saja tidak ada bank syariah yang menerapkannya. Padahal penggunaan akad salam ini juga dapat memberikan keuntungan pada bank serta dapat membantu para produsen yang kekurangan dana khususnya bagi para petani. Jadi para petani dapat mengajukan pembiayaan lalu membayar dengan hasil produksi mereka. Jika pembiayaan lancar tentunya akan membuahkan hasil yang memuaskan serta kualitas dan kuantitas produk yang lebih bermutu. Hal ini dapat meningkatkan sektor pertanian di Indonesia dan diharapkan dapat mengurangi angka impor untuk bahan pangan.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun