Oleh: Nurani Fitrian Azzahra/232111204/HES
Membaca buku Sosiologi Hukum karya Aris Prio Agus Santoso membuka mata saya terhadap satu hal penting: hukum tidak pernah berdiri sendiri. Ia tumbuh dari norma, budaya, dan nilai yang hidup dalam masyarakat. Buku ini secara gamblang menjelaskan bahwa pendekatan sosiologis terhadap hukum bukan hanya penting, tetapi sangat relevan, khususnya dalam konteks masyarakat Islam Indonesia yang terus bergerak dan berubah.
Hukum sebagai Produk Sosial
Penulis buku ini menekankan bahwa hukum bukan sekadar kumpulan pasal, melainkan refleksi dari masyarakat yang melahirkannya. Ini berarti hukum seharusnya tidak hanya memerintah dari atas, tetapi juga mendengarkan dari bawah.
Dalam masyarakat Islam Indonesia, banyak nilai sosial yang dipengaruhi oleh ajaran agama. Maka wajar jika masyarakat menjadikan hukum Islam sebagai rujukan moral, meskipun yang berlaku secara resmi adalah hukum negara. Perbedaan ini kadang memicu ketegangan, seperti terlihat dalam kasus perda syariah, kebebasan berpakaian, atau pernikahan usia dini.
Kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa sebagian regulasi daerah didorong oleh semangat menegakkan syariah. Namun pendekatan sosiologi hukum membantu kita melihat bahwa ini bukan sekadar soal formalisasi agama, tetapi juga ekspresi identitas dan aspirasi masyarakat.
Meski begitu, hukum negara juga harus tetap menjamin hak konstitusional semua warga negara, tak terkecuali yang berbeda keyakinan. Maka diperlukan dialog: antara nilai agama dan prinsip negara hukum; antara tradisi dan perubahan; antara komunitas dan individu.
Tantangan Generasi Muda dan Relevansi Hukum
Generasi muda Muslim Indonesia kini tumbuh dalam arus globalisasi dan digitalisasi. Mereka tidak hanya hidup dengan nilai-nilai lama, tetapi juga terbuka terhadap nilai-nilai baru. Dalam konteks ini, hukum harus mampu menyesuaikan diri agar tidak tertinggal zaman—tanpa kehilangan esensi keadilan dan moralitas.
Inspirasi dari buku ini sangat jelas: hukum yang tidak adaptif akan ditinggalkan masyarakat. Sebaliknya, hukum yang membuka ruang dialog akan lebih kuat karena ia relevan dan kontekstual.
Penutup: Hukum yang Hidup Bersama Masyarakat