Persamaan Dan Warisan Kekerasan Simbolik
Sementara kekerasan fisik seperti pembakaran tidak lagi menjadi masalah bagi pemimpin perempuan kontemporer, mereka sering kali 'dibakar' secara simbolis melalui bentuk pelecehan dan kritik lainnya. Kekerasan simbolis ini terwujud dalam diskursus sosial yang menggunakan peran perempuan sebagai ibu, suara, usia, dan pilihan mode untuk merendahkan dan melemahkan status mereka. Karena ia bertindak melalui norma dan praktik yang diterima secara sosial, jenis kekerasan ini sulit untuk diidentifikasi. Persepsi negatif tentang pemimpin perempuan diperkuat oleh penyebaran luas komentar seksis dan pelecehan verbal di media sosial, yang telah menjadi platform utama untuk perilaku ini. Akibatnya, kekerasan simbolis ini berubah menjadi bentuk penindasan sistemik yang berkelanjutan di ruang publik.
Sistem patriarki yang sangat tertanam dalam masyarakat dan budaya adalah penyebab utama kekerasan simbolik terhadap perempuan. Menurut Pierre Bourdieu, internalisasi aturan yang menempatkan perempuan sebagai makhluk inferior yang harus tunduk pada pria adalah cara kekerasan simbolik bekerja. Dalam situasi ini, mungkin sulit bagi pemimpin perempuan untuk menunjukkan kekuatan sambil tetap mematuhi norma gender. Dominasi sosial pria dipertahankan dengan mengkritik ucapan atau pilihan mode perempuan, yang melampaui estetika sederhana. Selain itu, media sosial dan media arus utama, yang sering kali menyajikan perempuan dengan cara yang terstereotip dan terobjektifikasi, mendorong kekerasan simbolik ini.
Ketika dibandingkan dengan rekan pria mereka, pilihan mode pemimpin wanita sering kali menjadi subjek kritik yang tidak adil. Suara wanita sering diejek dan disalahgunakan karena dianggap terlalu tinggi atau terlalu rendah. Usia pemimpin wanita juga menjadi masalah, karena mereka berada di bawah tekanan untuk selalu terlihat muda dan ceria. Peran parental wanita juga sering digunakan sebagai alasan untuk meragukan kemampuan mereka dalam menjalankan tanggung jawab kepemimpinan. Semua ini adalah contoh kekerasan simbolik yang membatasi kebebasan dan mobilitas wanita dalam kehidupan publik dan politik.
Saat ini, salah satu bentuk kekerasan simbolik yang paling jelas dan meresap adalah komentar seksis di media sosial. Di platform internet, pemimpin perempuan sering mengalami serangan verbal yang kasar, mengganggu, dan mengintimidasi. Kredibilitas dan reputasi mereka terdampak, tetapi begitu pula kesejahteraan mental mereka dan motivasi untuk terus berkarya akibat serangan ini. Namun, dengan menunjukkan keterampilan kepemimpinan dan ketekunan mereka, pemimpin perempuan terus melawan kekerasan simbolik ini. Pertempuran ini adalah komponen penting dari upaya untuk mengubah norma sosial dan sikap yang secara historis telah membatasi perempuan.
Meskipun ada kemajuan dalam hak dan peran perempuan, warisan kekerasan simbolis terus membayangi kehidupan perempuan, seperti yang terlihat dari panjangnya sejarah perjuangan perempuan. Kekerasan simbolis adalah pengingat bahwa perempuan masih terjebak dalam standar patriarkal yang menghalangi kebebasan mereka, seperti yang dibuktikan oleh pengejaran penyihir yang kejam di masa lalu dan kritik serta pelecehan yang dialami oleh pemimpin perempuan di zaman sekarang. Perempuan masih berjuang melawan bentuk penindasan yang lebih halus namun berbahaya yang berfungsi melalui media dan wacana sosial, bahkan ketika mereka tidak lagi terancam secara fisik.
Analisis kritis terhadap keadaan ini mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang merendahkan dan mengancam perempuan masih ada hingga saat ini. Harapan sosial yang tidak adil, stereotip gender, dan pernyataan seksis masih menghalangi perempuan untuk mewujudkan potensi penuh mereka. Karena diskriminasi gender masih merajalela di masyarakat kita, perempuan yang berani mengambil posisi kepemimpinan atau mengekspresikan diri dengan bebas sering kali menghadapi kritik yang tidak proporsional. Sangat penting untuk memahami bahwa perjuangan untuk kesetaraan gender masih berlangsung.
Kita harus meningkatkan pengetahuan tentang penindasan perempuan di masa lalu dan efek dari kekerasan simbolis saat ini sebagai langkah awal. Memprioritaskan pendidikan yang kritis dan inklusif sangat diperlukan untuk mempromosikan pemahaman yang lebih dalam tentang hak asasi manusia dan kesetaraan gender. Untuk melawan ketidaksetaraan gender dan mendorong suasana yang memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan publik dan politik, mari kita promosikan diskursus positif dan langkah-langkah praktis. Mengingat masa lalu hanyalah satu aspek dari kesadaran historis; aspek lainnya adalah menggunakannya sebagai inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih adil dan merata bagi semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI