Mohon tunggu...
E. Niama
E. Niama Mohon Tunggu... Psikologi dan Pendidikan | Tentor Akademik | Penulis Lepas | Pengamat Kehidupan dan Pendengar Cerita | Serta Seorang Intuitive Thinker

Pengamat kehidupan yang percaya pada kekuatan kata. Sebagai lulusan Psikologi dan tentor akademik, saya terbiasa membaca dinamika manusia dari berbagai sisi. Menulis bagi saya adalah ruang kontemplasi sekaligus cara berbagi makna.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Kenapa Curhat ke ChatGPT Lebih Mudah Dibanding ke Manusia?

22 September 2025   13:01 Diperbarui: 24 September 2025   09:42 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi manusia berinteraksi dengan chatbot AI sebagai teman curhat virtual. Sumber: Generated by Canva AI

Namun, di balik kenyamanan itu, ada sisi yang perlu diwaspadai. Respons ChatGPT yang selalu validatif "Saya paham perasaanmu," atau "Pasti berat di posisi kamu", "Tidak apa merasa marah, hal itu manusiawi". Membuat orang betah dan ingin kembali lagi. Rasa nyaman ini bisa menciptakan semacam ketergantungan. Alih-alih berbagi dengan teman atau mencari dukungan nyata, seseorang justru semakin menarik diri ke dunia digital, terisolasi dari hubungan sosial yang otentik.

Yang lebih riskan, empati ChatGPT atau AI sebenarnya hanyalah simulasi. Chatbot tidak benar-benar merasakan apa yang kita alami; ia hanya menyusun kalimat berdasarkan pola bahasa. Jika terus diandalkan, curhat semacam ini bisa membuat kita kehilangan sentuhan emosional yang sejatinya hanya bisa diberikan oleh manusia.

Curhat ke AI vs Manusia: Lebih Baik Mana?

Empati Nyata vs Praktis Instan

Curhat ke sahabat, keluarga, atau pasangan memberi sesuatu yang tak bisa digantikan: empati tulus, pengalaman hidup nyata, dan hubungan emosional yang membangun rasa memiliki. Sebaliknya, curhat ke AI memang lebih praktis selalu tersedia, cepat, dan aman tapi tetap monoton, karena tidak ada ikatan emosional timbal balik.

Kenapa Banyak Orang Tetap Memilih AI

Meski terkadang terasa monoton, banyak orang tetap condong ke AI. Alasannya, pengalaman curhat ke manusia pun tak selalu mulus. Ada rasa takut dihakimi, dianggap remeh, atau bahkan tanpa sengaja menyinggung lawan bicara. Belum lagi soal ketersediaan: teman bisa sibuk, keluarga tidak selalu memahami, pasangan pun kadang tidak siap mendengar. Di sinilah AI tampil sebagai pilihan aman selalu ada, selalu mendengar, dan selalu menenangkan.

Ketergantungan dan Isolasi Sosial

Kenyamanan yang ditawarkan AI berpotensi menciptakan ketergantungan. Jika terlalu sering mengandalkan chatbot, seseorang bisa makin jarang berinteraksi dengan orang di dunia nyata. Akhirnya, meningkatkan perasaan kesepian dan hampa karena mengisolasi diri dibanding interaktif dengan manusia.

Bukan Terapis Sungguhan

ChatGPT dan AI jenis lain memang bisa memberi respons empatik, tapi pada dasarnya hanya meniru pola bahasa. Ia tidak benar-benar memahami perasaan manusia. Karena itu, curhat ke AI tidak bisa menggantikan peran psikolog atau konselor. Dalam kasus tertentu, ada laporan pengguna justru merasa lebih buruk, bahkan terdorong pada pikiran berbahaya setelah berbicara dengan chatbot.

Risiko Privasi dan Data

Selain aspek psikologis, ada pula persoalan etika dan keamanan data. Rahasia pribadi yang kita bagi kepada AI tidak sepenuhnya aman. Ada kemungkinan data disimpan, dianalisis, atau bahkan dipakai untuk kepentingan komersial. Jadi, meski curhat ke AI terasa seperti berbicara di ruang hampa, sebenarnya ada pihak yang bisa saja mengakses cerita itu.

Menemukan Keseimbangan di Era AI

Fenomena ChatGPT sebagai teman curhat menggambarkan betapa kompleksnya kebutuhan emosional manusia. Pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan untuk didengar dan diperhatikan. Untuk memenuhi itu manusia butuh ruang aman untuk didengar. Selama ruang itu sulit ditemukan dalam hubungan sehari-hari. Karena biaya, stigma, atau ketakutan dihakimi. AI pun tampil sebagai jalan pintas yang praktis dan menenangkan.

Namun, kita juga perlu jujur pada diri sendiri. Seberapa pun canggihnya algoritma, empati AI tetaplah simulasi. Ia bisa memberi validasi instan, tetapi tidak bisa menggantikan tatapan mata yang penuh perhatian, sentuhan hangat, atau pelukan tulus dari sesama manusia.

Maka ditengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan, mungkin kita perlu kembali bertanya: apakah kita benar-benar sedang dimudahkan, atau justru perlahan kehilangan seni curhat kepada sesama manusia?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun