Perkembangan AI kian hari kian masif. Hampir setiap perusahaan teknologi berlomba-lomba meluncurkan produk AI dengan fitur yang semakin canggih, seolah ingin membuktikan siapa yang paling mampu memudahkan hidup manusia. Bagi kita, AI sudah bukan lagi sekadar alat bantu mencari informasi atau menyelesaikan pekerjaan. Ia perlahan masuk lebih dalam, menjadi bagian dari keseharian yang tak terpisahkan.
Yang menarik, manusia ternyata tidak hanya memanfaatkan AI untuk urusan praktis. Ada sisi yang lebih personal, lebih intim, bahkan kadang mengejutkan: curhat. Ya, sekadar meluapkan isi hati, berbagi keresahan, atau menuliskan keluh-kesah, kini banyak orang justru melakukannya kepada ChatGPT dan chatbot sejenis. AI tidak lagi hanya dipandang sebagai "otak jenius" buatan, melainkan juga sebagai "teman virtual" yang selalu siap mendengarkan.
Fenomena ini makin ramai diperbincangkan karena ChatGPT hadir 24 jam, tidak pernah menghakimi, dan mampu memberi respons yang terasa menenangkan seolah sedang berbicara dengan seseorang yang penuh pengertian.
Pertanyaannya, kenapa kini manusia lebih mudah membuka isi hati kepada mesin buatan dibanding kepada sesamanya?
AI sebagai Teman Curhat: Praktis, Aman, Tanpa Drama
Kepraktisan Tanpa Batas Waktu
Salah satu daya tarik terbesar ChatGPT sebagai teman curhat adalah kepraktisannya. Kapan pun rasa gelisah datang entah tengah malam atau dini hari Tidak perlu menunggu teman yang sedang sibuk, tidak perlu khawatir mengganggu orang lain di tengah malam, dan tidak perlu membuat janji temu. Hanya dengan mengetik beberapa kalimat, seseorang bisa langsung mendapat respons cepat nan menenangkan.
Bebas dari Penghakiman
Selain itu, ChatGPT memberikan rasa aman karena bersifat non-judgmental. Tidak ada tatapan sinis, tidak ada komentar merendahkan, apalagi cap "lebay" atau "cengeng." Banyak orang yang sebenarnya ingin curhat ke sesama teman, tapi merasa takut dianggap lebay, lemah, suka ngeluh atau takut membebani orang terdekat. ChatGPT menawarkan alternatif: ruang curhat yang seakan netral, tanpa prasangka..
Privasi yang Terjamin
Rahasia yang dibagikan dengan AI tidak akan tersebar ke mana-mana. Tidak ada risiko cerita pribadi menjadi bahan obrolan di belakang. Saat bercerita kepada manusia, selalu ada kemungkinan rahasia tersebar. Sementara dengan AI, pengguna merasa lebih leluasa untuk membicarakan hal-hal sensitif, dari masalah pekerjaan hingga urusan pribadi yang paling rapuh. Sensasi "dapat menulis tanpa diawasi" membuat curhat ke ChatGPT atau chatbot lain terasa lebih lega.
Biaya Terjangkau bagi Orang yang Finansialnya Pas-pasan
Alasan lain mengapa semakin banyak orang memilih curhat atau berkonsultasi dengan ChatGPT ketimbang tenaga profesional adalah soal biaya. Konseling atau terapi kesehatan mental memang bukan layanan yang murah. Tanpa BPJS atau asuransi kesehatan, sekali sesi konsultasi dengan psikolog atau psikiater bisa berkisar antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000, tergantung lokasi, pengalaman, dan fasilitas yang diberikan.
Bagi banyak orang, angka itu terasa berat. Uang sebesar itu lebih baik digunakan untuk kebutuhan sehari-hari daripada dihabiskan hanya dalam satu kali sesi konsultasi. Karena itulah, ketika beban mental sedang menumpuk, sebagian orang akhirnya lebih memilih menuangkan keresahan mereka pada ChatGPT atau chatbot sejenis. Murah, praktis, dan tetap terasa menenangkan.
Dampak Psikologis: Lega, tapi Bisa Bikin Ketagihan
Curhat ke ChatGPT memang memberi dampak positif. Banyak orang mengaku merasa lebih lega setelah menuliskan isi hati. Ada pula yang menjadikannya sarana refleksi diri: menata pikiran, belajar mengekspresikan perasaan lewat kata-kata, bahkan menemukan solusi sederhana atas masalah yang mereka hadapi.