AI kini tak hanya menjawab soal matematika, membuat artikel ilmiah atau membuat presentasi bisnis. Ia sudah bisa menulis puisi, cerpen, bahkan surat cinta yang bikin pembaca terenyuh. Tapi ada satu pertanyaan yang menggantung di benak saya:
Bagaimana mungkin sebuah entitas tanpa hati bisa menulis kisah cinta yang menyentuh hati?
Saya pernah iseng meminta AI membuat cerita tentang cinta pertama. Hasilnya? Indah, terstruktur, penuh diksi puitis. Lucu, pikirku. Dunia makin canggih, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya sederhana dan sacral seperti mencintai, AI bisa membuat cerita dengan detailnya.
Siapa sangka kecerdasan buatan bisa menulis puisi, membuat cerpen, menciptakan lagu, bahkan melukis. Ia bisa meniru gaya penulisan Pramoedya, membuat dialog seolah ditulis oleh Ayu Utami, atau menyalin alur cerita yang terasa seautentik Eka Kurniawan. Tapi anehnya, semua tetap terasa hampa.
Kenapa?
AI Bisa Meniru Pola, Tapi Tidak Pernah Jatuh Cinta
AI seperti ChatGPT, Claude, atau Gemini bekerja dengan cara mempelajari pola. Ia membaca jutaan teks dan mencoba memahami, secara matematis, bagaimana kata bekerja. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, semuanya dihitung, dianalisis, dan diprediksi.
Maka jangan heran jika cerpen buatan AI kadang terasa rapi, mengalir, bahkan puitis. Tapi di balik kepiawaian itu, selalu ada sesuatu yang kurang. Seperti surat cinta tanpa getaran detak jantung, seperti lagu patah hati tanpa dada yang sesak.
Karena pada akhirnya, AI tidak pernah tahu rasanya ditinggalkan. tidak pernah menunggu balasan pesan dengan jantung berdebar, tidak pernah mengalami malam-malam tanpa kabar. Tidak pernah mendengar kata "selesai" sambil mencoba menahan tangis di kafe yang terlalu ramai.
Cerita Itu Lahir dari Luka, Bukan Algoritma
Cerpen yang menyentuh, biasanya lahir dari pengalaman paling manusiawi: kehilangan, rindu, kecewa, atau harapan. Ia bukan sekadar narasi, tapi pengakuan jiwa. Dan untuk membuat pengakuan itu, seseorang harus pernah mengalami kehidupan yang tak selalu baik-baik saja.
AI tidak punya masa kecil yang getir. Tidak pernah takut ditolak. Tidak pernah merasa gagal menjadi anak yang diharapkan orang tua. Maka ceritanya, meski bisa sangat mirip, tetap tidak punya napas.