Mohon tunggu...
E. Niama
E. Niama Mohon Tunggu... Psikologi dan Pendidikan | Tentor Akademik | Penulis Lepas | Pengamat Kehidupan dan Pendengar Cerita | Serta Seorang Intuitive Thinker

Pengamat kehidupan yang percaya pada kekuatan kata. Sebagai lulusan Psikologi dan tentor akademik, saya terbiasa membaca dinamika manusia dari berbagai sisi. Menulis bagi saya adalah ruang kontemplasi sekaligus cara berbagi makna.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Apa yang Sebenarnya Kita Larang Saat Anak Bermain Roblox?

8 Agustus 2025   21:21 Diperbarui: 9 Agustus 2025   15:24 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi anak bermain roblox, Sumber : made by Claude

"Bahaya Roblox untuk anak, pemerintah menyatakan wacana Roblox akan diblokir!"

Seruan ini bergema dari ruang-ruang formal kementerian hingga obrolan grup orang tua. Dianggap memuat kekerasan, unsur horor, bahkan konten seksual terselubung, game ini kini jadi musuh baru bagi dunia anak-anak. Tapi saat saya membaca berita itu, saya justru terdiam. Bukan karena saya membela Roblox. Tapi karena saya merasa kita sedang terburu-buru melarang sesuatu yang bahkan belum benar-benar kita pahami.

Dunia Anak Sudah Berubah, Tapi Pendekatan Kita Masih Sama

Generasi kita dulu tumbuh dengan aturan sederhana: pulang sekolah ke rumah, main di halaman, lapangan atau bolang sampai maghrib. Nonton TV sesuai jam tayang. Dunia anak-anak bisa dibatasi dengan pagar rumah dan jadwal siaran televisi.

Anak-anak sekarang berbeda. Mereka tidak hanya bermain di dunia nyata, tapi juga "hidup" di dunia maya. Batas antara offline dan online sudah kabur. Mereka bersosialisasi melalui game, belajar dari video YouTube, bahkan membangun persahabatan dengan teman yang tak pernah mereka temui secara fisik.

Sayangnya, banyak orang dewasa masih memakai kacamata lama menghadapi realitas baru ini. Pola pikirnya masih sama: kalau ada yang mengkhawatirkan, larang saja. Kalau ada platform yang berpotensi bahaya, blokir saja. Selesai masalah.

Tapi apakah benar selesai? Atau justru kita menciptakan masalah baru?

Ketika Steam dan Epic Games diblokir beberapa tahun lalu, apakah anak-anak berhenti bermain game? Tidak. Mereka mencari cara lain, sering kali melalui jalur yang lebih tidak terpantau. Ketika TikTok sempat dilarang, apakah remaja berhenti bikin konten video? Tentu tidak. Mereka pindah ke platform lain.

Pola ini menunjukkan satu hal: dunia digital tidak bisa dihentikan dengan larangan. Yang terjadi justru sebaliknya, anak-anak akan mencari cara untuk tetap mengakses apa yang mereka inginkan, tapi kali ini tanpa pengawasan sama sekali.

"Bukan Gamenya yang Bahaya, Tapi Cara Bermainnya"

Saya setuju dengan pernyataan Psikolog Anak Rizqina Ardiwijaya yang bagi saya begitu mengena: "Bukan gamenya yang berbahaya, tapi cara bermainnya." Kalimat itu membuat saya merenung. Karena pada kenyataannya, bukan teknologi yang membawa anak ke jalan yang salah. Tapi ketidakhadiran orang dewasa dalam membimbing mereka.

Dalam wawancaranya, Rizqina menyampaikan bahwa Roblox memang berpotensi memaparkan anak pada konten negatif, terutama karena fitur chat dan DM (direct message) yang bisa digunakan predator untuk melakukan pendekatan manipulatif. Namun, di sisi lain, Rizqina juga menyebut banyak game di Roblox yang bisa melatih anak berpikir logis, menyelesaikan tantangan, dan bahkan belajar bekerja sama dengan teman dalam tim.

Ia juga menekankan bahwa sistem reward cepat dalam game seperti Roblox bisa membuat anak kecanduan, terutama jika tidak diajari cara mengelola waktu dan emosi. Ketika anak bermain tanpa pendampingan, mereka lebih mudah frustrasi dalam kehidupan nyata karena terbiasa mendapat kepuasan instan dari permainan.

Jadi, menurut Rizqina, masalah utamanya bukan pada keberadaan gamenya, tetapi pada ketiadaan orang dewasa yang membekali anak dengan nilai, batasan, dan pendampingan selama mereka bermain.

Dunia Digital Tak Bisa Dihindari, Tapi Bisa Diarahkan

Roblox, seperti dunia internet pada umumnya, bukan tempat steril. Di sana ada permainan kreatif, tapi juga jebakan. Ada tantangan seru, tapi juga predator. Tapi bukankah dunia nyata juga begitu? Bukankah tugas kita bukan membuang dunia yang berisiko, tapi menyiapkan anak-anak untuk bisa memilah dan bertahan di dalamnya?

Kita bisa melarang Roblox hari ini. Tapi besok akan muncul platform baru, dengan potensi risiko yang sama atau bahkan lebih besar. Kalau pola kita hanya reaktif, kita akan terus tertinggal. Yang lebih menakutkan, anak-anak akan terus melangkah ke depan tanpa pendampingan. Kita sibuk melarang dari luar, sementara mereka berkelana sendirian di dalam.Tapi semua manfaat ini baru bisa dirasakan jika ada pendampingan yang tepat. Seperti pisau dapur bisa berbahaya jika digunakan sembarangan, tapi sangat bermanfaat jika digunakan dengan cara yang benar.

Anak Tidak Butuh Dunia Sempurna, Tapi Kompas Moral

Anak-anak tidak butuh dunia yang sempurna. Mereka butuh kompas. Dan kompas itu bukan fitur "parental control" semata, tapi keterlibatan. Anak butuh orang dewasa yang hadir. Bukan sekadar mengawasi dari jauh, tapi juga memahami, bertanya, dan kalau perlu masuk dan bermain bersama mereka. Mungkin lucu membayangkan orang tua ikut main Roblox, tapi bukankah itu lebih baik daripada sekadar melarang tanpa tahu apa-apa?

Mari kita bayangkan dua skenario berbeda:

Skenario pertama: Roblox diblokir. Anak-anak frustrasi, mencari cara lain untuk mengakses game tersebut atau beralih ke platform lain yang mungkin lebih berbahaya. Orang tua merasa tenang sejenak, tapi masalah mendasar tidak terselesaikan. Ketika platform baru muncul, siklus yang sama berulang.

Skenario kedua: Roblox tetap bisa diakses, tapi dengan pengawasan ketat dan pendampingan aktif. Orang tua belajar tentang platform tersebut, mengatur kontrol penggunaan yang sesuai, dan yang terpenting terlibat aktif dalam dunia digital anak mereka.

Mana yang menurut Anda lebih efektif dalam jangka panjang?

Dunia digital tidak akan pernah berhenti berkembang. Setelah Roblox, akan ada platform baru lainnya. Setelah itu, akan muncul teknologi yang lebih canggih lagi. Kita tidak mungkin terus-menerus berlari di belakang perkembangan teknologi dengan pendekatan larangan.

Yang kita butuhkan adalah perubahan mindset: dari reaktif menjadi proaktif, dari melarang menjadi mendampingi, dari takut menjadi siap.


Penutup: Kita yang Perlu Belajar Masuk ke Dunia Mereka

Saya percaya, pelarangan bukan selalu hal yang buruk. Tapi jika pelarangan itu lahir dari ketidaktahuan, ia lebih dekat pada kepanikan daripada perlindungan. Roblox bukan soal blok-blokan. Ia cermin dari zaman. Dan cermin itu sedang menunjukkan pada kita: bahwa kita, para orang dewasa, perlu mengejar ketinggalan.

Daripada terus sibuk menutup pintu, mungkin kita perlu belajar untuk masuk dan duduk sebentar di dunia yang sedang dibangun anak-anak kita. Siapa tahu, dari situ kita justru bisa jadi bagian dari kompas mereka.

Ditulis sebagai refleksi bersama untuk para orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan di era digital.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun