Marketing politik merupakan sebuah pendekatan dan metode pemasaran yang membantu para politisi dan partai untuk lebih efisien dan efektif dalam membangun hubungan dua arah dengan konstituen dan masyarakat (Firmanzah, 2008). Pesan yang ingin disampaikan dalam marketing politik adalah pemilih sebagai subjek partai, permasalahan pemilih menjadi tujuan utama partai untuk membuat program kerja, dan marketing politik menjadi media untuk menjaga hubungan dengan pemilih. Dari sini dimaksudkan bahwa marketing politik bukan untuk menjual kontestan pada publik namun sebagai teknik untuk memelihara hubungan dua arah yang langgeng. Selain melalui konsep STP (segmentation, targeting, dan positioning) terdapat konsep 4P, salah satunya adalah promotion. Isi pemasaran yang paling penting adalah gagasasan, ide, visi, misi, serta program kerja yang sesuai dengan kebutuhan pemilih.
Melihat realitas sekarang dimana buzzer bayaran digunakan sebagai strategi dalam pemasaran politik digital melalui cara cara yang manipulatif, menurut saya kurang tepat dan telah membelot dari kerangka etis tidak hanya marketing politik namun juga demokrasi. Melalui pembagian peran yang ada seperti akun pendukung, penyerang, dan akun netral, dibeberapa kasus buzzer politik menggunakan teknik propaganda hingga manipulasi informasi untuk mempengaruhi opini publik. Mereka seringkali menggunakan data yang tidak akurat untuk mendukung ide mereka serta mengalihkan isu yang sedang dibahas dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan, hingga akhirnya menyebabkan disinformasi dan kebingungan dikalangan masyarakat.
Jika kembali pada konsep marketing politik yakni positioning dan promotion, aktivitas yang dilakukan oleh buzzer memang sesuai dengan segmentasi dan target namun cara yang digunakan terkesan negative dan minim substansi. Buzzer tidak hanya aktif dalam branding pasangan calon, namun juga penyebaran black campaign, pelecehan terhadap suara-suara oposisi, hingga mempengaruhi opini agar mendukung kebijakan pemerintah. Disini dimensi etika buzzer dalam marketing politik menghadapi persoalan, tidak hanya terkait manipulasi informasi tetapi juga akun akun palsu yang mereka buat telah melanggar prinsip clarity (kejelasan) dan openness (keterbukaan) dalam komunikasi politik.
Informasi-informasi dari buzzer yang tidak memiliki kejelasan terhadap sumber dan keakuratannya telah menyebabkan disinformasi dikalangan masyarakat. Apabila kondisi ini terus terjadi berulang kali maka akan banyak oorang mengalami kebingungan, stress, hingga memilih sikap apatis dikarenakan paparan informasi yang berlebihan. Ketika masyarakat mengetahui bahwa banyak akun media sosial yang dikuasi oleh tim buzzer, maka kepercayaan terhadap informasi politik akan menurun hal ini termasuk penurunan kepercayaan terhadap institusi politik.
Penggunaan buzzer dalam marketing politik saat ini didominasi dengan gaya dan cara yang kotor, sehingga jauh dari kata etis dan berdampak negative terhadap kepercayaan publik. Cara cara yang dilakukan oleh buzzer telah bertolak belakang dengan esensi dan maksud dari marketing politik. Disini masyarakat hanya dijadikan sebagai objek politik, informasi yang tersebar manipulative dan tidak menjawab permasalahan pemilih serta kontestan sekedar dijual pada publik tanpa teknik penting agar hubungan dua arah terpelihara dengan langgeng. Marketing politik yang didalamnya memuat edukasi, media untuk menjaga hubugan dengan pemilih, hingga tujuan yang selaras dengan demokrasi, justru dirusak dengan penggunaan buzzer bayaran yang memanipulasi opini publik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI