Mohon tunggu...
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Keep learning and never give up

pembelajar sejati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Salahkah Jika Seseorang Pindah Warga Negara?

9 Oktober 2020   14:53 Diperbarui: 11 Juni 2022   09:04 1717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ketika anak saya masih kecil (dokpri)

Sebenarnya saya tidak ingin mengulas masalah ini, takut sensitif. Tapi mungkin demi kebaikan kita semua, saya sedikit share cerita tentang anak saya (Amri) yang sekarang tinggal di New York, Amerika. 

Saya sendiri tidak keberatan sama sekali anak saya pindah kewarganegaraan, bahkan mendukungnyanya 1000%. Alasannya, karena 10 tahun lebih tinggal di Indonesia, dia tidak mengalami perkembangan yang berarti. 

Layaknya anak-anak yang bisa dengan bangga sekolah dan bercita-cita tinggi. Amri justru sebaliknya, pulang sekolah kelihatan capek dan terasa penuh beban di otaknya. 

Saya sendiri malah yang sedih dan prihatin, karena dia sewaktu kecilnya kelihatan lincah dan cerdas. Eh tiba-tiba sekolah di Indonesia seperti tidak berdaya. 

Saya tidak tahu apakah sistem pendidikan di Indonesia yang terlalu berat buat dia ditambah dengan kemampuan bahasa anak saya yang lemah. Yang kedua saya akui, memang iya.

Jadi setiap dia belajar malam hari terasa tertekan sekali, walaupun dia tetap belajar. Tapi rasanya cuma lewat saja tidak tahu apa yang dibaca. 

Setiap menemukan kata yang sulit dan aneh menurutnya, pasti dia tanyakan, "What is that, mommy?" Itu terus yang dia tanyakan. Ada banyak kata-kata yang dia tanyakan setiap harinya. Maklum dia memang belum menguasai banyak kosa kata Indonesia. Jadi setiap ada ulangan atau test, saya tanya sepulang sekolah, "How's your test?", jawabnya selalu  "I don't know mommy,". Saya pun akhirnya menimpali, "It's okay. Don't worry".

Begitu juga nilai sekolah di tingkat SMP, sedikit B, banyak C dan hanya satu yang nilainya A, yaitu bahasa Inggris.  Untuk tingkat SMA, nilai tidak ada bedanya dengan tingkat SMP. Beberapa nilai B, sisanya C dan hanya 1 yang nilainya A, yaitu bahasa Inggris. Beruntung saya tidak pernah memasang target untuk hasil belajarnya. Jadi saya mensyukuri  hasil apapun  yang dia capai  dan itu sudah sesuai dengan kemampuan yang dia miliki.

Ini hiburan anak saya ketika di Indonesia (dokpri)
Ini hiburan anak saya ketika di Indonesia (dokpri)
Makanya saat dia lulus setingkat SMA dan mau mendaftar untuk perguruan tinggi melalui SBMPTN, saya sudah melihat peluang untuk lolosnya kecil alias nihil, saya sarankan untuk mencoba memasuki dunia kerja saja daripada berharap terlalu jauh. Dua kali dia ikut SBMPTN, hasilnya sama nihil semua. Yang ketiganya dia tidak ikut, karena untuk persiapan ke Amerika.

Alhamdulillah, di dunia kerja dia justru bisa berkembang dengan baik, walaupun statusnya kontrak.  Dia sering berpindah kerja dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya karena kontraknya habis. Tentunya bukan untuk posisi  yang tinggi ya, karena cuma lulusan setingkat SMA. Akhirnya waktu untuk  menganggur pun tidak ada.

Saya ikut bersyukur, bathin saya belajar tidak harus di bangku kuliah perguruan tinggi. Tapi belajar bisa dari mana saja, termasuk dari dunia kerja dan berinteraksi dengan banyak orang. Anggap saja waktu yang hilang buat kuliah di perguruan tinggi, dia pakai untuk bekerja. Saya tahu pendidikan formal masih sangat diperlukan, tapi biarlah dia belajar melalui jalur lain dengan melihat dunia nyata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun