Tantrum pada anak dengan spektrum autisme kerap datang tiba-tiba, tak jarang mengguncang suasana kelas. Satu anak yang meluapkan emosi bisa memicu reaksi berantai pada siswa lain, sehingga suasana belajar terganggu.Â
Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi guru, yang dituntut sigap menenangkan suasana sekaligus memahami kebutuhan emosional anak.
Saat Tantrum Menggema di Kelas
Bayangkan suasana kelas yang semula tenang, tiba-tiba pecah oleh teriakan seorang anak. Meja bergetar, kursi bergeser, dan teman-teman sekelas pun mulai resah.Â
Tak lama kemudian, ada yang ikut menjerit, ada pula yang menutup telinga karena tidak tahan dengan suara bising. Dari satu tantrum, suasana kelas bisa berubah menjadi gelombang emosi yang sulit dihentikan.
Fenomena ini kerap terjadi di sekolah luar biasa (SLB) maupun sekolah inklusif yang melayani anak dengan spektrum autisme. Guru berada di garis depan, menghadapi situasi yang tidak bisa ditebak, sekaligus harus menjaga suasana belajar tetap kondusif.
Memahami Tantrum pada Anak Autis
Tantrum adalah bentuk luapan emosi yang terjadi ketika anak merasa frustasi atau kewalahan. Pada anak dengan autisme, tantrum sering kali muncul lebih intens karena mereka kesulitan mengekspresikan perasaan dengan kata-kata.
Beberapa faktor pemicu tantrum pada anak autis antara lain:
- Stimulasi berlebihan: suara keras, cahaya terang, atau keramaian.
- Perubahan rutinitas: jadwal yang tiba-tiba berubah, guru pengganti, atau kegiatan mendadak.
- Kesulitan komunikasi: keinginan yang tidak tersampaikan membuat anak frustrasi.
- Kebutuhan sensorik: rasa tidak nyaman dengan pakaian, bau, atau sentuhan tertentu.
Perlu dicatat, tantrum anak autis berbeda dengan "manja" atau sekadar mencari perhatian. Tantrum lebih sering menjadi ekspresi ketidakmampuan mereka mengendalikan rasa tidak nyaman.