Ucapan seorang pejabat publik seharusnya menyejukkan dan memberi harapan. Namun, ketika yang terdengar hanyalah komentar “asal bunyi”, dampaknya bisa jadi luka mendalam bagi rakyat yang sedang bergulat dengan kesulitan hidup.
Kata-kata yang lepas tanpa empati bukan sekadar bunyi, melainkan cermin ketidakpekaan yang membuat jarak antara penguasa dan masyarakat semakin lebar. Ketika rakyat berharap pada kecerdasan, kebijakan, dan empati dari para pejabat publik, yang muncul justru serangkaian pernyataan kontroversial yang menyayat hati.
Mulai dari Menteri Keuangan yang mempertanyakan apakah gaji guru sepenuhnya tanggungan negara, anggota DPR yang keliru menghitung tunjangan rumah, hingga wakil rakyat yang sibuk berjoget, tidur, atau bermain gawai saat rapat.
Belum lagi usulan absurd agar guru dijadikan tester makanan bergizi. Fenomena “asal bunyi” ini bukan sekadar masalah etika berkomunikasi, melainkan cermin krisis intelektual dan empati di tubuh pejabat publik.
Lidah Pejabat, Luka Rakyat
Dalam demokrasi, pejabat publik tidak hanya bertugas menyusun kebijakan, tetapi juga menyampaikan aspirasi rakyat dengan kecerdasan dan ketepatan kata.
Namun, yang sering terjadi di panggung politik Indonesia justru sebaliknya: lidah pejabat kerap lebih tajam dari kebijakan. Kata-kata yang seharusnya memberi arah justru melukai, yang seharusnya membangun harapan malah meruntuhkan kepercayaan.
Muncul pertanyaan di tengah masyarakat: apakah para pejabat benar-benar memahami beban rakyat, atau sekadar terjebak dalam retorika yang kosong makna?
Deretan Asal Bunyi yang Menghebohkan
Fenomena asal bunyi bukan sekadar isu sepele. Ia muncul berulang kali, dari berbagai lini kekuasaan.