Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ngopi, Ngaji dan jalan Hijrah (Antara Latte dan Laduni)

7 Agustus 2025   08:00 Diperbarui: 7 Agustus 2025   07:14 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latte, simbol keakraban, budaya urban, dan kenikmatan duniawi. Sementara laduni adalah ilmu yang mengalir dari hati ke hati; ilmu yang tidak selalu didapat dari buku, tapi dari keikhlasan, perenungan, dan kedekatan dengan Tuhan.

Hijrah hari ini bukan lagi hanya soal jubah dan jidat hitam. Ia lebih kepada proses batin yang sunyi, yang kadang dimulai dari hal-hal sederhana: mendengarkan cerita seseorang, merasa relate, lalu perlahan ingin menjadi lebih baik. 

Bahkan jika itu dimulai dari segelas kopi dan tanya polos, “Kenapa hidupku kosong, ya?” Kenyataannya itu pun menjadi jalan menuju hijrah.

Hijrah Tanpa Judgement

Sayangnya, sebagian publik masih mudah menghakimi. Ada yang mencibir, “Ngaji kok di kafe? Hijrah kok selfie-selfie?” Padahal, semua orang punya starting point. Selama niatnya lurus, ruang dan medium bukan soal.

Hijrah bukanlah perlombaan, apalagi ajang membandingkan siapa yang lebih suci. Ia adalah perjalanan batin yang personal, sering kali sunyi, dan membutuhkan dukungan, bukan cemoohan. 

Maka jika hari ini seseorang datang ke kajian dengan kopi di tangan dan celana jeans, biarkan. Mungkin kelak, dialah yang mengubah dunia dengan cara yang tak kita duga.

Peran Kita di Meja Hijrah

Sebagai sesama manusia, kita bisa memilih: jadi penonton yang menghakimi, atau jadi teman duduk di meja hijrah itu. 

Mendengar, menemani, dan berbagi jalan terang yang sedang ia cari. Mungkin kita bukan ustaz atau ustazah, tapi kita bisa jadi jembatan. Sekecil apapun itu.

Karena hijrah, seperti secangkir kopi, tak selalu manis. Kadang pahit, kadang terlalu panas, tapi selalu bisa dinikmati; asal tak ditinggal sendirian di meja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun