Di sudut-sudut kafe dan kedai kopi yang semerbak aroma robusta, percakapan tentang agama dan kehidupan mulai menggantikan obrolan receh semata.
Ruang publik kini tak hanya sekadar tempat nongkrong, tapi juga menjadi ladang hijrah yang tumbuh dari tanya-tanya yang hangat diseruput bersama secangkir kopi.
Hijrah kini menemukan jalannya, bukan hanya di mimbar dan majelis, tapi juga di meja-meja kayu berhiaskan latte art dan keresahan jiwa.
Ngopi Jadi Medium Dakwah Baru
Tren "ngaji sambil ngopi" kini kian menjamur di berbagai kota. Komunitas-komunitas muda, termasuk para mantan anak tongkrongan, kini memadukan hobi ngopi dengan keinginan mendekat pada Tuhan.
Bukan hal aneh lagi jika diskusi tafsir dan hadis disampaikan dengan bahasa santai di tengah suasana kedai kopi kekinian.
Dakwah tak lagi eksklusif di dalam masjid atau majelis taklim. Ia menjelma menjadi ruang yang lebih cair, hangat, dan akrab, tanpa mengurangi kedalaman maknanya.
Di sini, para pendakwah tak mengenakan sorban, tapi hoodie dan sneakers. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi agar dakwah terasa dekat dan tidak mengintimidasi.
Frasa “latte dan laduni” menjadi metafora perjumpaan dua dunia: dunia rasa dan dunia rasa yang lebih tinggi.