Tantrum pada anak-anak sering dianggap sebagai ulah manja atau bentuk pembangkangan.
Namun, ketika tantrum terjadi pada anak dengan spektrum autisme, tangisan, jeritan, bahkan aksi agresif mereka bisa jadi bukan sekadar luapan emosi, melainkan bentuk komunikasi terakhir saat dunia terasa terlalu berat untuk dipahami.
Melalui artikel ini, mari kita pahami bersama bahwa di balik ledakan itu, ada permintaan dan makna yang terbungkus dalam keheningan pemahaman.
Ketika Tangisan Bukan Sekadar Marah
Bagi sebagian orang tua dan pendidik, menghadapi tantrum adalah tantangan tersendiri. Terkadang, masyarakat sekitar memberi cap negatif: “anak nakal,” “tidak dididik dengan baik,” atau “orang tuanya gagal mendidik.”
Padahal, bagi anak dengan spektrum autisme, tantrum bukan soal kemauan, melainkan ketidakmampuan mengungkapkan rasa yang terpendam.
Tantrum pada anak autistik berbeda dari tantrum biasa. Di balik ekspresi yang tampak “berlebihan,” tersimpan jeritan minta tolong yang tak sanggup mereka ucapkan.
Apa Itu Tantrum pada Anak Autistik?
Tantrum adalah bentuk ledakan emosi yang bisa berupa tangisan, teriakan, menjatuhkan diri ke lantai, atau perilaku agresif. Namun pada anak autistik, tantrum bisa berubah menjadi meltdown, reaksi intens yang muncul saat sistem saraf mereka benar-benar kewalahan.
Pemicu tantrum pada anak autistik bisa bermacam-macam:
- Suara bising
- Cahaya terlalu terang
- Perubahan mendadak dalam rutinitas
- Rasa frustrasi karena tidak bisa mengungkapkan keinginan