Pagi tadi saya datang ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Di tangan saya, rapor anak saya dan Alhamdulillah, ia berhasil mempertahankan prestasinya. Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar bangga, dan pelukan kecilnya membuat saya lega bahwa perjuangan satu semester ini tak sia-sia. Namun, di balik rasa syukur itu, kenyataan lain mengetuk hati saya.
Dari pengeras suara di aula, kepala sekolah kelas mengumumkan adanya beberapa siswa yang dinyatakan tidak naik kelas. Suasana yang semula riuh menjadi hening sesaat.Â
Saya melihat seorang ibu memeluk erat anaknya yang terisak pelan, mencoba menenangkan hatinya yang retak. Mata saya ikut memanas.Â
Di tengah gemuruh tepuk tangan dan senyum penuh bangga, ada kisah-kisah kecil yang terluka; yang sayangnya, sering kita abaikan.
Dua Wajah di Hari Pembagian Rapor
Hari pembagian rapor selalu membawa dua sisi: yang satu penuh suka cita, yang lain menyimpan duka. Ada anak yang pulang dengan trofi dan nilai sempurna, sementara di sisi lain ada yang pulang dengan berat hati dan kepala tertunduk.Â
Sayangnya, kita lebih sering merayakan keberhasilan dan menengok yang berhasil, sementara yang tertinggal hanya mendapat sorotan negatif; seolah mereka tak cukup berjuang.
Padahal, siapa yang tahu bagaimana kerasnya mereka mencoba? Siapa yang tahu kalau mungkin mereka kesulitan memahami pelajaran karena masalah penglihatan, masalah di rumah, atau rasa takut yang tak pernah mereka ungkapkan?Â
Dan pertanyaan yang muncul adalah: ketika seorang anak tidak naik kelas, apakah hanya dia yang gagal? Ataukah kita sebagai orang tua dan pendidik juga sedang melewatkan sesuatu?
Tidak Naik Kelas: Stigma yang Menyakitkan