Saya juga memberdayakan ibu-ibu di desa yang meminta pekerjaan kepada saya. Saya berikan kesempatan untuk menjual barang-barang saya dengan sistem kredit.Â
Walau untungnya tak besar ada bahagia bisa berbagi rejeki dengan memberikan kesempatan dan pengetahuan, bukan sekedar memberi semampu saya.
Saya juga senang belajar, mengikuti seleksi, pelatihan serta membaginya pada rekan. Sesekali saya menulis pengetahuan dan pengalaman yang saya alami, menjadi pendengar bagi orang tua dan sahabat bagi siswa siswi saya.
Saya tidak menyadari bahwa ketekunan dan kehadiran saya telah membentuk citra tersendiri di mata orang-orang sekitar. Membuat saya mendapat banyak kesempatan dan beasiswa dari pemerintah serta diberikan amanat dalam berbagai program yang diselenggarakan.
Tanpa disangka, saya lolos berbagai seleksi asesor, narasumber maupun fasilitator di kementrian pendidikan, mulai sering diminta jadi narasumber pelatihan guru di berbagai sekolah dalam maupun luar kota, lembaga pemerintah serta diklat online.
Saya merasa hal tersebut bukan karena saya yang terbaik; tapi karena saya konsisten, bisa dipercaya, dan "dikenal sebelum dibutuhkan."
Strategi Branding Diri: Bukan Pura-Pura, Tapi Penuh Makna
Saya tidak pernah menyiapkan branding seperti korporasi. Tapi jika saya menengok ke belakang, inilah strategi branding diri yang saya jalani secara alami:
1. Keaslian Nilai
Saya tidak mencoba menjadi siapa-siapa. Saya tetap guru kampung yang mencintai anak-anak istimewanya, yang menulis karena hati, bukan karena algoritma. Saya percaya, keaslian lebih tahan lama dari sekadar tren.
2. Jejak Digital yang Bermakna