Malam semakin larut. Di antara tumpukan kertas, layar laptop yang masih menyala, dan suara ketikan yang tak berirama, seorang mahasiswa termenung.
Bukan karena kantuk, tapi karena revisi yang entah keberapa kalinya. Ada letih yang menggantung, tapi juga ada harapan yang perlahan menyala—karena di balik stres tengah malam ini, tersimpan segudang cita-cita.
Bagi mahasiswa akhir, menyusun skripsi, tesis, atau disertasi bukan sekadar menyusun kata dan data. Ia adalah perjalanan penuh ujian kesabaran, emosi, bahkan identitas diri.
Tak jarang, di balik lembar-lembar revisi itu, tersembunyi cerita dan tangis yang tak pernah diceritakan ke siapa-siapa, tapi luar biasa rasanya.
Revisi Lagi, Revisi Terus: Siapa Tak Pernah?
"Rasanya udah bagus, eh malah disuruh balik ke versi awal," keluh seorang mahasiswa pascasarjana di tengah malam, lewat cuitan yang segera ramai dibagikan ratusan mahasiswa lainnya.
Fenomena ini bukan cerita baru. Hampir semua mahasiswa akhir pernah merasakannya.
Saat naskah yang telah direvisi habis-habisan justru dikritisi lebih keras, atau ketika dosen pembimbing seolah berubah arah dan meminta hal yang berbeda dari sebelumnya.
Melelahkan, memang. Tapi itu juga bagian dari dinamika dunia akademik; bahwa hasil ilmiah yang baik tak lahir dari sekali duduk. Maka ikutilah dan nikmati prosesnya.
Saat Emosi Mulai Menguras
Tak sedikit mahasiswa yang mengalami kelelahan mental dan emosional. Tidur tak teratur, makan tak selera, emosi labil, dan relasi sosial pun terganggu.
Bahkan ada yang sampai mengalami gejala depresi ringan hingga burnout akademik. Stres ini tak hanya muncul karena beban tugas, tapi juga karena tekanan waktu, ekspektasi keluarga, dan keinginan diri sendiri untuk cepat lulus.
Ketika semua itu menumpuk, malam pun terasa sesak. Tapi justru di sanalah, banyak yang mulai menemukan cara bertahan.
Tips Mengelola Stres dan Tetap Waras
Di tengah tekanan itu, ada beberapa langkah sederhana yang bisa menolong:
- Tulis sedikit setiap hari. Jangan menunggu “mood bagus” atau “waktu luang panjang.” Disiplin kecil lebih efektif dari niat besar.
- Jadwalkan me-time. Setiap malam, beri jeda untuk hal yang disukai: mendengarkan musik, journaling, membuat kopi, atau sekadar duduk di halaman rumah.
- Bangun support system. Bertukar cerita dengan teman seperjuangan bisa sangat menyembuhkan.
- Berani bilang ‘lelah’. Kalau merasa terlalu berat, jangan ragu minta bantuan—entah ke dosen, konselor kampus, atau keluarga.
- Ingat: tidak ada karya besar yang lahir tanpa proses yang panjang!
Bukan Sekadar Gelar, Tapi Proses Menempa Diri
Tugas akhir sering kali dianggap sebagai tiket menuju kelulusan. Padahal, ia lebih dari itu.
Ia adalah ajang pembuktian ketangguhan, kemampuan berpikir kritis, dan ketekunan menghadapi tantangan. Hal-hal yang kelak akan jauh lebih berguna dari sekadar gelar di belakang nama.
Kita belajar bahwa tak semua hal bisa selesai dalam satu malam, bahwa revisi adalah cermin berkembangnya pemikiran, dan bahwa menangis bukanlah tanda lemah, melainkan bukti bahwa kita sedang berusaha.
Untukmu yang Sedang Berjuang…
Jika kamu membaca artikel ini di tengah malam, sambil menatap layar dengan mata berat dan hati yang sedikit remuk, ketahuilah: kamu tidak sendiri.
Di luar sana, ada ribuan mahasiswa yang juga sedang bertahan di titik yang sama.
Tetaplah semangat! Biarkan secangkir harapan itu menemani tiap malam yang sunyi.
Karena pada akhirnya, semua perjuangan ini akan layak. Bukan hanya demi kelulusan, tapi demi versi terbaik dari dirimu sendiri yang sedang kamu bangun pelan-pelan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI