Malam semakin larut. Di antara tumpukan kertas, layar laptop yang masih menyala, dan suara ketikan yang tak berirama, seorang mahasiswa termenung.Â
Bukan karena kantuk, tapi karena revisi yang entah keberapa kalinya. Ada letih yang menggantung, tapi juga ada harapan yang perlahan menyala—karena di balik stres tengah malam ini, tersimpan segudang cita-cita.
Bagi mahasiswa akhir, menyusun skripsi, tesis, atau disertasi bukan sekadar menyusun kata dan data. Ia adalah perjalanan penuh ujian kesabaran, emosi, bahkan identitas diri.Â
Tak jarang, di balik lembar-lembar revisi itu, tersembunyi cerita dan tangis yang tak pernah diceritakan ke siapa-siapa, tapi luar biasa rasanya.
Revisi Lagi, Revisi Terus: Siapa Tak Pernah?
"Rasanya udah bagus, eh malah disuruh balik ke versi awal," keluh seorang mahasiswa pascasarjana di tengah malam, lewat cuitan yang segera ramai dibagikan ratusan mahasiswa lainnya.
Fenomena ini bukan cerita baru. Hampir semua mahasiswa akhir pernah merasakannya.Â
Saat naskah yang telah direvisi habis-habisan justru dikritisi lebih keras, atau ketika dosen pembimbing seolah berubah arah dan meminta hal yang berbeda dari sebelumnya.Â
Melelahkan, memang. Tapi itu juga bagian dari dinamika dunia akademik; bahwa hasil ilmiah yang baik tak lahir dari sekali duduk. Maka ikutilah dan nikmati prosesnya.
Saat Emosi Mulai Menguras