Tidak semua anak perempuan menyambut datangnya menstruasi dengan pemahaman dan kesiapan. Terlebih bagi anak perempuan dengan spektrum autisme, pengalaman pertama melihat darah haid bisa menjadi momen menegangkan, bahkan traumatis.
Di sebuah sekolah inklusif, seorang siswi autis mengalami serangan panik hebat saat menyadari dirinya haid untuk pertama kali. Tangisan, penolakan terhadap pembalut, hingga ketakutan ekstrem menjadi potret nyata bahwa edukasi pubertas tidak bisa disamaratakan.Â
Berangkat dari pengalaman ini, desensitisasi menjadi kunci untuk mendampingi anak autis menghadapi perubahan tubuh secara lebih tenang dan bermakna.
Kepanikan Saat Menstruasi Pertama
Kejadian ini dialami oleh seorang peserta didik perempuan dengan spektrum autisme di sekolah inklusif. Ketika darah menstruasi muncul untuk pertama kalinya, ia menjerit panik, menangis berjam-jam, dan menolak mengenakan pembalut.Â
Situasi menjadi tidak terkendali, hingga proses belajar pun terganggu. Guru dan teman-teman di kelas ikut kebingungan. Reaksi emosional ini bukan semata-mata karena ia tidak tahu tentang menstruasi, tetapi karena ketidaksiapan sensorik dan emosional yang khas pada anak dengan autisme.
Bagi anak autis, perubahan mendadak dalam tubuh dan penampakan fisik seperti darah bisa menjadi pengalaman yang sangat mengganggu. Sensitivitas terhadap tekstur, bau, dan sensasi fisik yang ditimbulkan oleh pembalut pun dapat memicu reaksi penolakan kuat.
Desensitisasi: Menjembatani Kebutuhan Spesifik
Dalam menghadapi tantangan ini, strategi desensitisasi menjadi solusi yang efektif. Desensitisasi adalah pendekatan bertahap untuk membiasakan seseorang pada stimulus yang sebelumnya dianggap menakutkan atau tidak nyaman.Â
Dalam konteks ini, desensitisasi dilakukan untuk membangun toleransi anak terhadap pengalaman menstruasi secara perlahan dan terstruktur. Guru, orang tua, dan terapis berkolaborasi dalam merancang proses desensitisasi yang bersifat visual, naratif, dan sensorik.Â