Ada juga siswa tunarungu yang menyampaikan lirik puisi menggunakan bahasa isyarat. Walau tanpa suara, pesan dalam puisi tersampaikan dengan baik.
“Setiap gerakan tangannya seperti bicara langsung ke hati,” ujar salah satu orang tua siswa. “Saya melihat betapa besar perjuangan guru-guru untuk mengangkat potensi anak-anak kami.”
Tak kalah mengesankan adalah pertunjukan drama pendek berjudul “Sekolah Impian” yang mengisahkan perjuangan seorang anak dengan disabilitas yang bertekad tetap bersekolah meski menghadapi banyak penolakan.
Akting siswa-siswi tersebut, meskipun sederhana, berhasil menyampaikan pesan kuat tentang semangat juang dan pentingnya akses pendidikan bagi semua anak.
Seni sebagai Terapi dan Cermin Diri
Kegiatan ini bukan hanya seremoni tahunan, melainkan bentuk terapi emosional, sosial, dan sekaligus penguatan karakter bagi siswa.
Banyak anak yang awalnya pemalu, pendiam, bahkan sulit berinteraksi. Tapi ketika mereka diberi ruang untuk berkarya, mereka tumbuh. Panggung ini bukan sekadar tempat tampil, tapi tempat menyuarakan keberadaan mereka kepada dunia.
Seni dan pendidikan karakter menjadi bagian tak terpisahkan dari pembelajaran di SLBN Tasikmalaya. Para guru menggunakan pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan tiap anak, termasuk melalui musik, gerak tubuh, lukisan, dan drama.
“Setiap anak memiliki bahasa tersendiri untuk mengekspresikan dirinya. Ada yang tak bisa bicara, tapi bisa bernyanyi dalam diam melalui gerakan. Ada pula yang tak bisa berjalan, tetapi bisa menari dengan tangan dan hati,” papar salah satu guru yang mendampingi siswa dalam persiapan acara.
Harapan dan Pesan dari SLBN untuk Indonesia
Acara ditutup dengan penampilan kolaboratif antara guru dan siswa membawakan lagu “Hymne Guru” dalam bahasa isyarat. Semua hadirin berdiri dan ikut bernyanyi dalam keheningan yang penuh makna. Lagu tersebut seolah menjadi persembahan cinta dari seluruh keluarga besar SLBN Tasikmalaya kepada dunia pendidikan Indonesia.