Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia, layangan telah menjadi bagian dari identitas budaya. Saat diterbangkan, ia membawa bukan hanya angin, tapi juga nilai-nilai tradisi, kreativitas, dan kebersamaan.
Wau Bulan: Simfoni Langit dari Negeri Jiran
Di Malaysia, wau merupakan warisan budaya yang dijaga dengan penuh kebanggaan. Jenis yang paling terkenal adalah wau bulan, yang bentuknya menyerupai bulan sabit dengan hiasan rumit berwarna-warni.Â
Wau bukan sekadar diterbangkan, tapi juga diukir, dicat, dan didendangkan melalui suara busur bambu yang khas; sebuah harmoni antara seni rupa dan seni suara.
Pengalaman menyaksikan Festival Wau di Kelantan menjadi momen yang tak terlupakan. Di tengah lapangan luas yang dikelilingi perbukitan dan semilir angin tropis, wau-wau besar terbang satu per satu, masing-masing membawa cerita lewat corak dan suara.Â
Masyarakat berkumpul, tidak hanya untuk menyaksikan, tapi juga untuk merayakan, menjadikan langit sebagai ruang budaya bersama.
Layangan Pegon dan Ragam Tradisi Nusantara
Indonesia sendiri memiliki kekayaan jenis layang-layang tradisional yang luar biasa. Salah satunya adalah layangan Pegon dari Boyolali, Jawa Tengah.Â
Berukuran besar dan kokoh, Pegon sering hadir dalam festival rakyat yang meriah. Saya berkesempatan menyaksikannya langsung dalam Festival Layangan Boyolali, di mana puluhan layang-layang raksasa dari berbagai daerah dilepaskan ke langit biru.
Sensasinya berbeda dari Kelantan. Jika wau bulan menyuguhkan keanggunan dan suara mendayu, Pegon menampilkan kekuatan dan keberanian.
Bentuknya sederhana, namun ukurannya sangat besar, dengan teknik terbang yang memukau. Penontonnya tak kalah antusias, dari anak-anak hingga orang tua, semua bersorak saat layangan melambung tinggi atau bersaing di udara.