Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Anjay, Anjir, dan Kebiasaan Buruk Berbahasa: Sekadar Tren atau Jalan ke Neraka?

4 Maret 2025   10:03 Diperbarui: 4 Maret 2025   11:45 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Etika berkomunikasi (Sumber: AI)

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang tanpa sadar membiasakan menggunakan istilah seperti anjay, anjir, atau variasi lainnya dalam percakapan. Kata-kata ini berasal dari plesetan kata anjing, yang dalam konteks tertentu digunakan untuk mencela atau menghina. 

Awalnya mungkin hanya dianggap sebagai lelucon atau ekspresi spontan, tetapi pernahkah kita berpikir bahwa kebiasaan ini bisa berbahaya, baik dari sisi etika komunikasi maupun ajaran Islam?

Bahasa Cerminan Akhlak

Islam mengajarkan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut kita akan dipertanggungjawabkan. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

"Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)." (QS. Qaf: 18)

Ayat ini menegaskan bahwa ucapan sekecil apa pun memiliki konsekuensi. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cerminan akhlak dan kepribadian seseorang. Rasulullah SAW juga mengajarkan pentingnya menjaga lisan:

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, berbicara dengan kata-kata kasar atau tidak pantas, meskipun dalam konteks bercanda, bukanlah kebiasaan yang dianjurkan dalam Islam.

Hinaan dan Neraka Wail

Dalam QS. Al-Humazah ayat 1, Allah SWT memberikan peringatan keras:

"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela!"

Menurut tafsir, ayat ini merujuk pada orang-orang yang suka merendahkan, menghina, dan mengolok-olok orang lain. 

Kata-kata seperti anjay, anjir atau istilah kurang baik lainnya mungkin dianggap sepele, tetapi jika digunakan untuk merendahkan seseorang, maka termasuk dalam kategori yang diperingatkan dalam ayat ini.

Neraka Wail dalam tafsir disebut sebagai tempat siksaan yang sangat berat, yang disediakan bagi mereka yang suka mencela dan merendahkan orang lain melalui perkataan maupun perbuatan. 

Jadi, jika kebiasaan menggunakan kata-kata kasar ini berujung pada perilaku menghina, bukan tidak mungkin seseorang bisa termasuk dalam ancaman ayat ini.

Bercanda? Tetap Harus Ada Batasnya!

Sebagian orang beralasan bahwa penggunaan kata-kata ini hanya untuk bercanda. Namun, Islam mengajarkan bahwa candaan pun memiliki adab. Rasulullah SAW bersabda:

"Janganlah kalian saling mencela, karena celaan itu akan kembali kepada diri kalian sendiri." (HR. Bukhari)

Bercanda boleh, tetapi jika menggunakan kata-kata yang secara asal memiliki makna kasar atau negatif, apakah masih pantas? Apalagi jika akhirnya kebiasaan ini membuat orang lain tidak nyaman atau bahkan menjadi kebiasaan buruk dalam komunikasi sehari-hari.

Apa Untungnya Ikut Tren Berbahasa Kasar?

Menggunakan kata-kata seperti anjay atau anjir sering kali dianggap sebagai bagian dari tren atau budaya gaul. Tapi coba pikirkan lagi, apakah tren ini benar-benar membawa manfaat?

  1. Tidak membuat seseorang terlihat lebih keren. Justru, sering kali penggunaan bahasa kasar menunjukkan kurangnya wawasan dalam berkomunikasi.
  2. Bisa menyinggung perasaan orang lain. Tidak semua orang merasa nyaman dengan istilah seperti ini, terutama mereka yang memahami asal-usul dan makna sebenarnya dari kata-kata tersebut.
  3. Menjadi kebiasaan yang sulit diubah. Kata-kata yang sering diucapkan bisa menjadi kebiasaan yang terbawa hingga dalam situasi formal atau bahkan dalam doa dan ibadah.

Jika Bisa Pakai Kata yang Lebih Baik, Kenapa Tidak?

Sebagai manusia yang diberikan akal dan kebebasan memilih, kita seharusnya lebih selektif dalam berbahasa. Jika ada kata-kata yang lebih baik dan sopan, mengapa harus menggunakan istilah yang memiliki konotasi buruk?

Daripada ikut-ikutan tren yang tidak jelas manfaatnya, lebih baik membiasakan diri berbicara dengan santun dan penuh adab. Jangan sampai hanya karena kebiasaan kecil, kita justru menjerumuskan diri ke dalam keburukan yang lebih besar. Sebab, seperti yang dikatakan Rasulullah SAW:

"Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kata yang membuat Allah murka, ia tidak menyangka bahwa kata itu akan membawanya ke neraka sejauh antara timur dan barat." (HR. Bukhari)

Jadi, masih mau lanjut pakai istilah itu? Atau mulai sekarang lebih berhati-hati dalam berbahasa?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun