"Katanya guru, kok marah?"
"Katanya guru, kok nggak sabaran?"
"Katanya guru, kok salah?"
Kalimat-kalimat ini sering kita dengar di masyarakat. Seolah-olah begitu seseorang menyandang gelar "guru", mereka otomatis harus menjadi manusia sempurna: selalu sabar, tidak boleh emosi, tidak boleh lelah, tidak boleh salah, harus selalu rapi, tidak boleh ini dan itu.Â
Memang benar seorang guru harus menjadi panutan. Namun, apakah adil menuntut seorang guru untuk selalu tampil ideal dan sempurna? Sementara, guru juga hanya seorang manusia biasa.
Di era digital ini, tuntutan terhadap guru semakin berat. Media sosial dipenuhi oleh video atau foto yang memperlihatkan guru melakukan kesalahan, lalu dengan cepat viral disertai hujatan.Â
Padahal, di balik setiap momen itu, ada upaya yang dilakukan untuk mencerdaskan anak bangsa. Ada kelelahan, tekanan, dan emosi manusiawi yang mungkin dirasakan oleh seorang guru sebagai manusia biasa.
Tuntutan yang Tak Ada Habisnya
Dalam dunia pendidikan, guru bukan sekadar pengajar di kelas. Mereka harus menjadi psikolog bagi siswa yang bermasalah, administrator yang mengisi tumpukan laporan, fasilitator dalam berbagai kegiatan sekolah, bahkan menjadi orang tua pengganti bagi murid-murid saat di sekolah.
Tak cukup dengan itu, guru juga dituntut untuk selalu "baik" di luar sekolah. Jika mereka tertangkap kamera di tempat umum dengan pakaian santai, muncul komentar:
"Katanya guru, kok gayanya begitu?" Jika mereka terlihat makan di restoran mahal, ada yang mempertanyakan, "Katanya gajinya kecil, kok bisa makan di sana?" Serba salah rasanya.
Di sisi lain, jika seorang murid berperilaku buruk, siapa yang pertama kali disalahkan? Guru!