Di era modern yang serba cepat dan praktis, di mana informasi terus mengalir tanpa batas dan keputusan diambil dengan pertimbangan efisiensi semata, pertanyaan mendasar muncul: "apakah kaum intelektual masih memegang peran sebagai pemikir kritis, ataukah mereka hanya menjadi alat bagi sistem yang ada?"
Dalam konteks ini, filsafat seharusnya menjadi fondasi utama bagi kaum intelektual. Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak intelektual justru lebih mengutamakan pragmatisme ketimbang refleksi mendalam.Â
Di sinilah paradigma rasional perlu ditegaskan kembali---yakni, cara berpikir yang berakar pada filsafat sebagai upaya memahami kebenaran, keadilan, dan eksistensi manusia.
Paradigma Rasional: Pilar Intelektualitas Sejati
Paradigma rasional adalah pola berpikir yang menempatkan akal budi sebagai instrumen utama dalam menafsirkan realitas.Â
Ini tidak berarti meniadakan aspek emosional atau pengalaman empiris, tetapi lebih kepada menyeimbangkan semua elemen berpikir dalam sebuah kerangka yang sistematis, kritis, dan mendalam.
Filsafat, sebagai ibu dari segala ilmu, adalah elemen krusial dalam paradigma ini. Tanpa filsafat, pemikiran intelektual hanya akan bersandar pada data dan fakta tanpa pemahaman yang lebih dalam mengenai hakikat kebenaran.
Sebagai contoh, sains modern berkembang pesat karena adanya filsafat ilmu yang terus mempertanyakan metode, batas, dan etika dalam penelitian.Â
Tanpa filsafat, sains bisa berubah menjadi alat manipulasi bagi kepentingan tertentu. Begitu pula dalam ranah politik, ekonomi, dan sosial---ketika intelektual tidak memiliki dasar filsafat yang kuat, mereka mudah terjerumus ke dalam bias kepentingan yang sempit.
Mengapa Kaum Intelektual Harus Berfilsafat?
Di era yang penuh ketidakpastian, kaum intelektual dituntut untuk berpikir lebih dari sekadar pragmatis. Filsafat memberi mereka alat untuk menggali makna, mempertanyakan kebenaran, dan menavigasi kompleksitas dunia dengan lebih bijak.Â