Mohon tunggu...
Nuha Naillaturrafidah
Nuha Naillaturrafidah Mohon Tunggu... Kadang suka nulis

Nulis biar kelihatan pintar dan bodohnya, nulis biar isi kepala bisa baris antri nunggu dikeluarkan dari kepala, nulis biar hidupnya ada sedikit manfaatnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Keburukan Dianggap Sebagai Warna Asli Manusia dan Kebaikan Dianggap Pencitraan Belaka

12 Mei 2025   23:14 Diperbarui: 12 Mei 2025   23:14 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: (Foto oleh Yan Krukau: https://www.pexels.com/id )

Pernahkah kita mengungkapkan kekecewaan ketika melihat keburukan dan kemarahan seseorang dengan ungkapan ''ketahuan tuh sifat aslinya!'' atau ungkapan yang senada?

 Tanpa sadar, kita sering menganggap satu tindakan jahat sebagai refleksi ''sifat asli'' seseorang. Sedangkan ketika kebaikan-kebaikan dan ramah-tamah yang ditunjukan hanya dianggap sebagai kepalsuan dan pencitraan belaka.

Seolah-olah true colors manusia memang buruk dan kebaikan hanya dianggap sebagai topeng dan aksesoris saja. Tapi sebenarnya, benarkah sifat asli manusia itu memang buruk?

Setiap aliran Psikologi menawarkan berbagai sudut pandang yang unik untuk menjawab pertanyaan klasik tentang hakikat asli manusia. Seperti Freudian yang memandang pesimis manusia, yang dikendalikan oleh dorongan naluri tak sadar berupa libido dan agresi. Sedangkan teori Humanistik Abraham Maslow menawarkan pandangan yang lebih optimistik bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat positif dan dorongan aktualisasi diri.

Teori siapa yang kita anut dan bagaimana kita memandang manusia memiliki  peran krusial dalam membentuk setiap respon atas berbagai peristiwa kehidupan. Perbedaan pandangan ini mempengaruhi setiap interaksi kita terhadap orang lain.

Seseorang yang menaruh percaya bahwa hakikat manusia adalah baik selalu mengedepankan potensi perbaikan serta aktif mencari solusi, alih-alih membuat kesimpulan terburu-buru tentang kepribadiannya hanya dari satu peristiwa atau konflik.

Ketika sisi buruk dari manusia muncul, mereka menganalisis dan mencari tahu akar masalah yang menyebabkan mereka menjauh dari hakikat kemanusiaanya. 

Berbeda dengan pandangan pesimistik yang cenderung defensif dan selalu menaruh kecurigaan. Mereka dengan mudah membuat kesimpulan. Ketika kemarahan dan keburukan muncul dari pribadi manusia, mereka bersorak menang karena merasa berhasil membongkar sifat asli seseorang. Sebaliknya, ketika kebaikan dan kegembiraan sering kali dianggap sebagai topeng dan kepalsuan. Terutama di era media sosial ini.

Media sosial menawarkan bingkai yang begitu indah terhadap setiap penggunanya, dimana setiap orang bisa dengan mudahnya ''custom'' kepribadian seperti apa yang hendak ia tampilkan ke publik. Hal ini menjadikan setiap orang bagaikan bawang yang memiliki kulit berlapis-lapis, hingga sulit sekali rasanya mengetahui sifat asli seseorang apalagi jika hanya dilihat dari media sosialnya.

Pandangan seorang pesimistik menaruh kecurigaan besar terhadap media sosial. Bagaimana kita bisa percaya keindahan dan kebaikan yang di tampilkan di media sosial padahal dengan berinteraksi secara langsung saja seseorang sering kali menggunakan banyak topeng? 

Penilaian tidak bisa luput dari kehidupan manusia, tetapi seorang pesimistik akan menggiring setiap kebaikan kepada kecurigaan. Membuat mereka sulit menikmati kehidupan itu sendiri, dimana kebaikan dan keburukan tidak berhenti berkelindan. 

Hidup di zaman yang penuh penilaian membuat kita begitu cepat merasa lelah, apalagi ketika setiap kebaikan dan kebahagiaan hanya dianggap sebagai pencitraan. Kita digiring kesana kemari untuk kemudia merasa bingung, seperti apa sebenarnya diri kita ini?

Terlalu optimistik memandang manusia juga melelahkan, karena terlalu sering realita menggiring kita kepada kekecewaan. Tapi dengan memandang manusia adalah makhluk baik yang setiap darinya sedang memperjuangkan aktualisasi diri membuat kehidupan terasa lebih ringan. Setidaknya ketika sisi buruk muncul kita bisa menaruh percaya pada usaha perubahan yang menggiring pulang pada hakikat kemanusiaanya, alih-alih tenggelam dalam rasa kekecewaan dan rasa putus asa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun