Pernahkah kita mengungkapkan kekecewaan ketika melihat keburukan dan kemarahan seseorang dengan ungkapan ''ketahuan tuh sifat aslinya!'' atau ungkapan yang senada?
 Tanpa sadar, kita sering menganggap satu tindakan jahat sebagai refleksi ''sifat asli'' seseorang. Sedangkan ketika kebaikan-kebaikan dan ramah-tamah yang ditunjukan hanya dianggap sebagai kepalsuan dan pencitraan belaka.
Seolah-olah true colors manusia memang buruk dan kebaikan hanya dianggap sebagai topeng dan aksesoris saja. Tapi sebenarnya, benarkah sifat asli manusia itu memang buruk?
Setiap aliran Psikologi menawarkan berbagai sudut pandang yang unik untuk menjawab pertanyaan klasik tentang hakikat asli manusia. Seperti Freudian yang memandang pesimis manusia, yang dikendalikan oleh dorongan naluri tak sadar berupa libido dan agresi. Sedangkan teori Humanistik Abraham Maslow menawarkan pandangan yang lebih optimistik bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat positif dan dorongan aktualisasi diri.
Teori siapa yang kita anut dan bagaimana kita memandang manusia memiliki  peran krusial dalam membentuk setiap respon atas berbagai peristiwa kehidupan. Perbedaan pandangan ini mempengaruhi setiap interaksi kita terhadap orang lain.
Seseorang yang menaruh percaya bahwa hakikat manusia adalah baik selalu mengedepankan potensi perbaikan serta aktif mencari solusi, alih-alih membuat kesimpulan terburu-buru tentang kepribadiannya hanya dari satu peristiwa atau konflik.
Ketika sisi buruk dari manusia muncul, mereka menganalisis dan mencari tahu akar masalah yang menyebabkan mereka menjauh dari hakikat kemanusiaanya.Â
Berbeda dengan pandangan pesimistik yang cenderung defensif dan selalu menaruh kecurigaan. Mereka dengan mudah membuat kesimpulan. Ketika kemarahan dan keburukan muncul dari pribadi manusia, mereka bersorak menang karena merasa berhasil membongkar sifat asli seseorang. Sebaliknya, ketika kebaikan dan kegembiraan sering kali dianggap sebagai topeng dan kepalsuan. Terutama di era media sosial ini.
Media sosial menawarkan bingkai yang begitu indah terhadap setiap penggunanya, dimana setiap orang bisa dengan mudahnya ''custom'' kepribadian seperti apa yang hendak ia tampilkan ke publik. Hal ini menjadikan setiap orang bagaikan bawang yang memiliki kulit berlapis-lapis, hingga sulit sekali rasanya mengetahui sifat asli seseorang apalagi jika hanya dilihat dari media sosialnya.
Pandangan seorang pesimistik menaruh kecurigaan besar terhadap media sosial. Bagaimana kita bisa percaya keindahan dan kebaikan yang di tampilkan di media sosial padahal dengan berinteraksi secara langsung saja seseorang sering kali menggunakan banyak topeng?Â