Mohon tunggu...
Nugroho DwiYanto
Nugroho DwiYanto Mohon Tunggu... Freelancer - Carpe diem

-

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ketika Komentar Netizen Menjadi Berita di Media Massa

8 Juli 2019   11:51 Diperbarui: 8 Juli 2019   20:45 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar pribadi dari liputan6.com

Internet memang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat modern saat ini. Internet hadir memberikan berbagai kemudahan bagi penggunanya, terutama mengenai kebutuhan informasi.  Pada tahun 2018, lebih dari separuh populasi di Bumi menggunakan internet. Data tersebut dihimpun oleh We Are Social, totalnya mencapai empat miliar.

Dalam mengonsumsi berita, masyarakat juga mengalami perubahan karena adanya internet. Dahulu, masyarakat duduk-duduk di teras ditemani secangkir kopi dan surat kabar. Kini mereka bangun pagi membuka telepon pintar untuk memperoleh berita ataupun membuka media sosial.

Media sosial telah terbukti menjadi sumber informasi tak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi media massa khususnya portal berita. Seperti cnnindonesia.com, liputan6.com, idntimes.com dan portal berita lain turut memperoleh bahan berita dari media sosial. Bahkan media plat merah (Antara) ikut ambil bagian dalam mencari bahan berita di media sosial.

Padahal Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo meminta media massa tidak mengambil informasi viral di media sosial untuk dijadikan berita. Informasi viral yang ada di ranah media sosial belum bisa dipastikan kebenarannya sehingga media massa harus hati-hati terhadap hal tersebut.

Dia mengatakan boleh saja informasi menjadi bahan awal untuk menulis berita namun tetap lakukan verifikasi atas kebenaran faktualnya dan lakukan konfirmasi kepada pihak-pihak yang harus dikonfirmasi.

"Hal ini dilakukan untuk mencegah munculnya hoaks. Karena inti dari jurnalisme adalah verifikasi, verifikasi, verifikasi," kata Yosep, di Kota Bandung, Rabu (20/3/2019).

Hingga sekarang bukan hanya informasi viral yang menjadi berita, tetapi "komentar" dari warganet mengenai peristiwa viral turut menjadi rujukan berita tanpa adanya verifikasi. Hal tersebut tentu dapat melanggar kode etik jurnalistik Pasal 3 butir A yang berbunyi "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu."

Sudah pasti pihak media paham soal hukum jurnalistik itu, mungkin karena dapat menghibur khalayak ramai atau mempunyai news value, komentar netizen soal kejadian viral itu dijadikan bahan berita. Tetapi, apakah karena alasan tersebut lantas tak menghiraukan hukum jurnalistik sebagai hal fundamental dari wartawan?

tangkapan layar pribadi dari antaranews.com
tangkapan layar pribadi dari antaranews.com
tangkapan layar pribadi dari cnnindonesia.com
tangkapan layar pribadi dari cnnindonesia.com
tangkapan layar pribadi dari liputan6.com
tangkapan layar pribadi dari liputan6.com
tangkapan layar pribadi dari idntimes.com
tangkapan layar pribadi dari idntimes.com

Ideologi Media Tercermin dari Pilihan Komentar


Kecuali tajuk rencana, media tidak boleh beropini, tetapi hal tersebut dapat diakali dengan framing. Seolah-olah narasumber yg berpendapat tetapi konstruksinya ditentukan oleh kebutuhan media.

Menurut Sumadiria (2011, h.94) proses pencarian dan penciptaan berita itu dimulai di ruang redaksi melalui forum rapat proyeksi. Istilah lain dari rapat proyeksi adalah rapat perencanaan berita, rapat peliputan, atau rapat rutin wartawan di bawah koordinasi koordinator liputan (korlip).

Dalam konteks ini, dari puluhan, ratusan bahkan ribuan komentar netizen di media sosial tentang sesuatu yang viral dipilih sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan redaksi.

Dalam buku Analisis Teks Media karangan Alex Sobur (2012, h.30), Antonio Gramsci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Di samping kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara, dalam diri media massa terselubung kepentingan lain, misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan lapangan kerja bagi para karyawannya dan sebagainya. Dalam kondisi dan posisi seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah, dia akan bergerak dinamis di antara pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan bias berita di media massa adalah sesuatu yang sulit dihindari.

Referensi:

Sumadiria, Haris. 2011. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Sobur, Alex. 2012. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

tirto.id

Kompas.com

suara.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun