Dari sini cerita saling "menjatuhkan" terjadi. Bagi rakyat Mataram yang "pro Amangkurat I" yang memindahkan kraton ke Pleret, Pasingsingan akhirnya ditokohkan sebagai "antagonis". Namun bagi sisi lain, Pasingsingan adalah orang yang lurus karena menegakkan aturan agama.
Bagaimana kebenarannya, wallahu alam.
Namun kelak di kemudian hari, Kraton Mataram Pleret akhirnya dibumihanguskan oleh pasukan Trunojoyo. Trunojoyo sendiri terbilang masih cicit dari Sultan Agung dari jalur darah Madura. Hiruk pikuk cerita ini silakan ditelusuri dalam link sbb: TRUNOJYO
Lowo Ijo
Siapakah Lowo Ijo ini?
Pondok Pesantren di Bangil Pasuruan Jawa Timur berkisah tentang ini. Berbicara tentang pesantren, dalam sejarah Bangil memiliki pesantren yang sangat tua usianya, kurang lebih berusia 300 tahun lebih. Hal ini masuk akal karena jalur tapal kuda tersambung langsung dengan pesisir di mana kaum pedagang dari Yaman dan India juga sering berinteraksi.
Di lihat sisi arsitektur bangunan, pesantren tersebut memang memiliki usia yang sudah tua. Pesantren yang bertempat di kelurahan Gempeng Bangil ini diberi nama Pondok Cangaan. Santrinya meluas dari Nusantara maupun Malaysia Brunei SIngapura dan Filiphina. Jalur santrinya memang mendunia ketika itu.
Nah, pondok Cangaan menyimpan sejarah yang luar biasa. Pendiri pondok tersebut adalah wali Allah yang memiliki julukan Mbah Lowo Ijo (makamnya di Diwet Pogar), dengan nama asli Syekh Jalaluddin atau Syekh Abdul Qodir.
Diberi julukan Mbah Lowo Ijo karena saat di kejar-kejar penjajah beliau menjelma menjadi Lowo Ijo. Dalam cerita yang lain disebutkan, julukan Lowo Ijo itu karena saat 10 ke tiga bulan Ramadan beliau melakukan sholat dan munajat di ranting-ranting pohon bahkan dedaunan. Kisah lain bahwa almarhum sangat suka bergamis hijau yang dinisbatkan sebagai warna kesukaan Nabi.