Mataram dalam sejarahnya adalah salah satu negara terkuat di Jawa, kesultanan yang menyatukan sebagian besar pulau Jawa, Madura, dan Sukadana (Kalimantan Barat). Kesultanan ini terdiri dari wilayah kutagara, nagaragung, mancagara, pasisiran dan sejumlah kerajaan vasal, beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan beragam tingkat otonomi.
Dari sisi kemaritiman, Mataram sebenarnya kerajaan yang termasukkan/terpinggirkan dari garis pantai pelabuhan, pintu ekonomi politik yang saat itu menjadi andalan berinteraksi dengan masyarakat internasional. Maka ketika pemerintahan Sultan Agung, intensitas interaksi dengan penguasa pantai meningkat sebagai upaya penguatan politik ekonomi Mataram.
Kesultanan ini secara de facto merupakan negara merdeka yang menjalin hubungan perdagangan dengan Kerajaan Belanda. Kedua pihak saling mengirim duta besar dan perwakilan, sehingga otoritas Mataram pada kenyataannya memang powerful dengan bala tentara terlatih dan mumpuni.
Miskinnya literasi rakyat Jawa menyebabkan proses edukasi sangat terbatas, sehingga yang beredar adalah mitos-mitos. Padahal, Mataram adalah sebuah kerajaan besar yang sistematis dalam membuat zona ekonomi, budaya, politik, dan sosial sehingga sangat disegani di masyarakat Nusantara.
Bahkan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Raja paling masyhur di Mataram, sangat percaya diri dan di bawah kepemimpinannya tidak mengizinkan Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) untuk mendirikan loji-loji dagang di pantai utara. Loi adalah gudang-gudang besar Belanda yang digunakan sebagai penumpukan barang sebelum diangkut lewat kapal laut.
Hal ini ditolak karena bila diizinkan maka ekonomi di pantai utara akan dikuasai dan melemah. Penolakan ini membuat hubungan keduanya sejak saat itu merenggang. Inilah aksi SUltan Agung yang menunjukkan kebesaran seorang Raja Jawa ketika itu, dengan risiko akan ada konflik dengan Belanda yang mulai merangsek ke Nusantara.
Perjanjian Giyanti Memecah
Pada masa akhir menjelang keruntuhannya, kerajaan Mataram yang tadinya independen justru terpecah oleh siasat politik VOC sehingga terjadi palihan nagari (bedah negara). Hal ini juga terkait dengan gagalnya misi militer ke Batavia oleh Sultan Agung yang karena logistik dihancurkan oleh musuh. Namun jejaknya masih ada sampai sekarang, misalnya ada kampung Matraman di Jakarta yang sejarahnya adalah zona tempat transit prajurit militer Mataram sebelum menyerbu benteng VOC di Batavia.
Kesultanan Mataram secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari pada Koninkrijk der Nederlanden, dengan status pzelfbestuurende landschappen. Lama kelamaan, Mataram menjadi bagian dari kepanjangan tangan kolonial dengan segenap risiko politik ekonominya.