Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Konsultan - Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hidupku Penuh Keajaiban (01)

10 Maret 2021   06:45 Diperbarui: 10 Maret 2021   07:44 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siapa sangka saya bisa ke sini (Dokpri) 

Apakah hidup ini rasional, atau tidak rasional? Saya pernah mencoba bertanya kepada peserta ketika saya sebagai instruktur di sebuah pelatihan kepemimpinan. Sebagian menjawab, rasional. Semua bisa dihitung dan dikalkulasi. Nalar dan logis. Barangsiapa rajin, maka ia akan memperoleh kerajinanya. Barang siapa malas, maka ia pun akan memperoleh hasil dari kemalasannya. Dalam hal ini, logis dan rasional. 

Pertanyaan lain, apakah orang yang punya usaha sama, akan memperoleh hasil yang sama? 

Apakah orang yang berproses kurang lebih sama, akan memiliki risiko atau dampak atau hasil atau akibat dari apa yang sama-sama diusahakan?

Di sinilah irasioal dimulai. Ada orang yang secara nalar sehat, bahagia, dan diramalkan akan berusia panjang. Namun kenyataannya, mati muda dan kita memang bersedih, namun apa mau dikata. Ada orang yang diramalkan akan sengsara dan mati muda, namun justru berusia panjang, soleh di hari tua, bahkan kaya dan sejahtera. Apa mau dikata wahai manusia? 

Sama dengan hidup saya ketika saya menengok ke masa lalu. Lebih ajaib, masa lalu itu masih hilir mudik di depan hidung saya. Sebab, sahabat teman kerabat saudara dan bahkan para pembully di masa lalu, masih hadir di depan mata dan berinteraksi dengan kita. Dan situasi sudah sangat berbeda.

Masa Sekolah Dasar. Saya menghabiskan, wah.. saya ralat.. bukan menghabiskan, kok kesannya habis habisan. Saya menjalani masa sekolah dasar di sebuah desa jauh di dekat pinggiran Sungai Opak. Atau Kali Opak yang penuh kisah misteri, misalnya lampor di Kali Opak, dan lain sebagainya. 

Apakah saya bahagia di masa sekolah dasar? Alhamdulillah, sangat berbahagia. Apalagi ketika itu, seburuh-buruk prestasi raport saya, pasti masih terbaik. Padahal ibu saya yang guru SD, tidak pernah membocorkan soal ujian. Saya dilepas begitu saja belajar sesuai dengan prosedur di sekolah. 

Kisah bahagia ini bertimpuk dengan kisah duka. ALhamdulillah, kisah duka tapi ya saya tidak terluka. Hanya kadang kasihan pada diri sendiri, kok dulu begitu ya.. Hehehe...Terutama kalau ingat kisah kecil duka semasa kanak-kanak. 

Sampai juga ke Belanda (Dokpri) 
Sampai juga ke Belanda (Dokpri) 

Alkisah saya ditantang duel. Berkelahi. Entah mengapa, ada seorang anak tetangga desa, menantang kelahi. Dia bertiga, saya hanya sendirian. Nantang kelahi di perempatan desa. Namanya juga anak-anak, saya ladeni itu. Namun konyolnya adalah, saya tidak punya pengalaman bertengkar, dan tidak terlatih bela diri. Hanya menuruti nafsu saling nantang anak-anak usia kanak, ya sekitar usia 8 tahunan atau kelas 2 SD ketika itu. 

Saya lulus SD tahun 1984, jadi kira-kira tahun 1980 an ya. Singkat cerita, saya berkelahi di perempatan itu. Reflek apa saya malah tidak ingat, sepertinya gerak tinju maunya meniru Muhammad Ali yang sangat sohor ketika itu. Waduhh... "musuh" saya langsung menjambak saya, dan mengoyak tubuh saya membanting ke tanah. Guling-gulingan, dan akhirnya dipisah oleh teman yang lain.

"Uwis... uwisss..... cukup ikiii...", begitu kata teman lain yang memisah.


Siapa yang kalah, siapa yang menang? Kayaknya draw. Sebab wajahnya kena cakar dan pukulan saya, namun rambut saya kejambak dan tidak mau dilepaskan. Tangan saya posisi mencekik dia. Seru pasti ya...

YA sudah... selesei duel saya dengan teman saya SD itu. Namun, hati saya jadi tersedu. Ketika beranjak dari tempat itu, saya pulang sendirian. Mata saya sembab, merasa sendirian. Sementara dia beranjak dari tempat duel, ya meski badannya juga uwel-uwelan kotor, namun ia pulang bersama 2 orang kawannya. 

Kelak di kemudian hari, dan ini sudah terjadi, lawan duel saya ini jebulannye menjadi preman di Jakarta. Dan saya bertemu dia, tertawa-tawa dia bercerita tentang duel saya dulu, dan kisah dia terdampar di ibu kota sebagai preman jalanan. 

Bersama kolega dari Indonesian Navy (dokpri)
Bersama kolega dari Indonesian Navy (dokpri)

Saya pun ikut tertawa sambil agak ngeri, karena dia masih cerita di dunia kekerasan dan banyak adegan cerita pembunuhan, pengeroyokan, dan kekerasan lainnya. Saya akhirnya memang berteman akrab dengan dia, dan tidak ada masalah apa pun sampai sekarang. 

Namun saya melihat, betapa saya jauh lebih beruntung ketimbang dia. Saya bersekolah sampai jauh, dan dia putus sekolah di SMA sampai ngeluyur di Jakarta namun bukan sebagai karyawan justru bermasalah secara sosial dan hukum. Ada kejadian pembunuhan, di mana dia bercerita kisruh antar gang ketika itu. 

Dia sendiri saya lihat baik-baik saja, dan hormat secara wajar kepada saya saat ini. Saya juga tidak mau mengusiknya. Masa lalu yang sangat lama terjadi, dan entah mengapa selalu saya ingat bahkan sampai ketika teman yang lain teriak-teriak mau memisahkan duel atau gulat anak ketika itu.

Moralitas cerita: saya bersekolah di tempat yang sama, bersahabat, berkonflik, berdamai, namun nasib akhirnya berbeda. 

Hidup adalah keajaiban. Saya merasa sangat beruntung dalam hidup ini. Saya ingin terus bersyukur, dan mencoba menebar kebaikan meski hanya lewat tulisan. Juga berusaha kebaikan yang lain. Semoga dimampukan terus oleh Tuhan. 

Sungguh Maha Ajaib Tuhan Pencipta semua kehidupan dan kematian. Rasionalitas nalar manusia, bisa ditimpuk banyak irasionalitas hidup  karena memang manusia hanya makhluk dan Allah Maha Perkasa.  Kelak saya ingin berpulang dengan  peluh syukur dan mulut berdzikir selalu kagum terhadap Kemahabesaran Allah SWT.

Tidak mengira, kelak saya yang jalan kaki sekolah di SD di pelosok desa, bisa jalan-jalan sampai ke Belanda dan Eropa lainnya, hanya berbekal doa dan pengharapan. Bersekolah juga pastinya, dari sisi rasionalitas. Namun dari sisi irasionalitas, banyak yang lebih pandai secara akademik dari saya, namun belum tentu bisa jalan-jalan jauh ke jantung peradaban dunia di masanya. Madurodam, kisah yang diwartakan oleh guru SD saya, akhirnya kelak kemudian hari, terbukti bisa saya kunjungi. Saya bersyukur selalu. Dan masih banyak lagi nikmat hidup yang saya rasakan. 

Bahkan anak saya juga dapat mengikuti program pertukaran pelajar, sampai stay di Belanda juga. 

Masa kecil ada juga kisah duka, namun semua tinggal cerita. Berganti dengan bahagia dan penuh syukur tanpa batas. 

Saya semakin mengerti mengapa Bapak Jacob Oetama mengatakan ini: Syukur Tiada Akhir

Saya agak berderai air mata menuliskan bagian akhir artikel ini. Saya pun ingin selalu bersimpuh ke hadirat Ilahi, syukur kami tidak ada akhir. Kami akan berpulang kepada Engkau Wahai Allah  Pencipta semua makhluk, yang mengasihi tanpa ukuran. 

Hidup adalah keajaiban. (10.03.2021/Endepe) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun