Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perang Bubat yang Digugat, Fake History?

21 Februari 2021   08:21 Diperbarui: 21 Februari 2021   08:36 5207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perang Bubat yang dikesankan Sunda diserang Majapahit (Foto: historyofcirebon.id)

Meluruskan sejarah yang sudah mendarah daging dalam kurikulum, tidak mudah. Apalagi sampai sosiokultural psikologis masuk dalam urat nadi rakyat. Seperti sejarah traumatis kultural yang sangat menyengat; Perang Bubat. Benarkah perang itu ada? Apakah memang sedemikian lemah seorang Mahapatih Gajah Mada, sehingga tumbang kebesaran jiwa seorang Panglima, hanya oleh dorongan tidak ingin dinihilkan kuasa politik oleh seorang putri dari Kerajaan Pasundan Parahyangan?

Ini yang saya coba menelisik literatur sedikit, karena saya bukan ahli sejarah, mengenai perang Bubat yang melukai budaya Jawa VS Sunda

Jadi telisiknya dikit-dikitsaja ya gaess.. jika penisirin, silakan menghubungi sejarahwan untuk meneliti lebih lanjut. Disklaimer saya: ini hanya rangkuman dari beberapa sumber, sehingga perlu dicek ricek bagaimana kebenaran narasi dskripsi di artikel ini. 

MENGHAPUS LUKA BUDAYA 

Sebagaimana diketahui, Raja Mataram Islam Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono Sayidin Panotogomo Khalifatulah Hingkang Jumeneng Kaping Sedoso (HB X), yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, menjalin kesepahaman dengan Gubernur Jawa Barat - ketika itu Aher Ahmad Heriawan - untuk saling memberi nama jalan dengan latar belakang budaya Sunda dan Jawa. 

Pemberian nama jalan arteri di Yogyakarta pada tahun 2017 itu, dengan nama raja dan kerajaan besar di Jawa ternyata dalam upaya untuk merukunkan budaya psikologis 2 suku besar di Jawa, yakni Suku Jawa dan Suku Sunda. Hal ini  berkaitan dengan rekonsiliasi budaya Jawa dan Sunda, yang selalu dikaitkan dengan sejarah lama, Perang Bubat. 

Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 166 Tahun 2017 tentang Penamaan Jalan Arteri, ruas jalan yang dikenal sebagai ring road dibagi-bagi dengan tujuan sinergi psikologi budaya, yakni menjadi enam nama jalan. Dua jalan menggunakan  nama raja besar, dua lain menyandang nama kerajaan, dan sisanya nama tokoh penting sejarah Indonesia modern. 

Simpang tiga Jombor sampai simpang tiga Maguwoharjo (10 kilometer) bernama Jalan Padjajaran. Simpang empat Pelem Gurih sampai Jombor (5,8 kilometer) merupakan Jalan Siliwangi. Simpang empat Dongkelan sampai simpang tiga Gamping diberi nama Jalan Brawijaya.

Selanjutnya, simpang empat Janti sampai Ketandan disebut Jalan Majapahit. Simpang empat Dongkelan sampai simpang tiga Gamping dikenal dengan nama Jalan Brawijaya. Simpang empat Wonosari (Ketandan) sampai Imogiri Barat (Wojo) dinamai Jalan Ahmad Yani. Simpang empat Wojo sampai Dongkelan bernama Jalan Prof Dr Wirjono Projodikoro.

Semua media cetak, online, memberitakan bahwa itu bagian dari "rekonsiliasi budaya". Dan memang kenyataannya, dalam rakyat Jawa telah tertanam bahwa "jangan menikahi gadis Sunda, karena orangnya begini begitu, dan lain sebagainya.". Ini merasuk dalam nadi jiwa para lelaki Jawa. Sebaliknya, di Jawa Barat, juga ada himbauan turun temurun, bahwa "jangan menikah dengan orang Jawa, nanti akan begini begitu dan lain seterusnya". 

Sungguh ini menikam urat sosiopsikologis kultural dua suku tersebut. 

Yang luar biasa, dalam konstelasi sosial politik, kedua suku ini adalah "mayoritas" dalam sisi kuantitas. Selain memang pulaunya bernama Jawa, juga orang yang lahir di Jawa, meski asal usul dari suku lain, maka akan mengaku sebagai "suku Jawa". Sehingga secara kuantitas, suku Jawa semakin dominan. Di Jaman Belanda, jika Sunda dan Jawa bersatu, maka akan sangat berisiko dalam perlawanan terhadap kolonial. 

Maka, terjadilah Perang Bubat. Ini versi yang bermaksud mengoreksi, bahwa Perang Bubat sejatinya adalah mega hoaks di jamannya. 

Namun akibat hoaks tersebut, luka budaya telanjur menikam sehingga Raja Jawa memandang perlu untuk rekonsiliasi. Sayangnya memang, representasi Raja Sunda saat ini dapat dikatakan kurang populer, sama halnya Raja Jawa Timur juga tidak ada.  Jika Pak Sultan selaku Raja Jawa telah rekonsiliasi budaya dengan Kerajaan Sunda, lantas digabung dengan Jawa Timur, maka mutlak kuasa rakyat Pulau Jawa akan didapatkan. Jawa adalah kunci, akan menjadi momok besar di era demokrasi ini. Siapa yang menguasai Jawa, maka akan menang dalam demokrasi. Kira-kira begitu pendapat yang embuh dah bagaimana validitasnya, biar para politisi yang akan menjadi semakin sibuk bagaimana menundukan hati rakyat Nusantara. 

PERANG BUBAT ITU FAKE HISTORY

Nah, realitanya orang Jawa telanjur 'perang sosiobudaya psikologis" dengan orang Sunda akibat cerita Perang Bubat. 

Namun, saatnya untuk bertanya benarkah Perang Bubat itu ada?

Sebelum masuk ke tokoh yang mempertanyakan ini, saya sedikit bercerita bahwa memang di Belanda ada perpustakaan yang berisi lengkap tentang Suku-suku Nusantara. Lengkap bagaimana kelebihan, kelemahan, bahasa, psikologisnya, budayanya, hirarki kuasanya, peran raja dan hubungan dengan rakyat, dan lain sebagainya. Bahkan lebih lengkap dari literatur di perpustakaan kita. Di Belanda, saya bahkan tahu ada tokoh politik nasional, yang ternyata di jaman kolonial dahulu, dicatat di Belanda sebagai spionase yang bekerja pada Kerajaan Belanda Raya, dengan hegemoni politiknya di bantaran luas Nusantara. Padahal, tokoh ini sangat dikenal dan dihormati sebagai tokoh Nasional. Siapa namanya, rahasia dunk, hawong ini kan hanya cerita-cerita, nanti kalau disebutkan tambah rame dunia persilatan di media ini. Hehehe... penisirin kin.. nah, kita lanjut saja tentang Perang Bubat yang digugat. 

Perang Bubat itu tidak pernah terjadi, tidak ada, dan hanya kamuflase kolonial untuk membenturkan 2 suku besar Nusantara ketika itu. 

Begitu pendapat yang bermaksud mengoreksi sejarah yang sayangnya sudah telanjur ke mana-mana. 

Adalah KH. Agus Sunyoto, M.Pd. adalah seorang penulis, sejarawan, dan salah satu tokoh Nahdlatul 'Ulama. Saat ini ia menjabat sebagai ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia PBNU (LASBUMI), yang berusaha meluruskan sejarah Perang Bubat dan seputaran Majapahit. Sebagai pointer, ada 3 hal saja yang akan saya rangkumkan di sini. Kalau panjang-panjang, agak mumet juga karena kita akan dikejutkan dengan temuan-temuan beliau yang sampai saat ini belum dibantah oleh ahli sejarah yang lain.

(1) Perang Bubat itu kreasi Penjajah

Semua itu, menurut Agus Sunyoto, telah melekat pada persepsi banyak orang. Sebagian besar ceritanya berasal dari Pararaton, Kidung Sunda serta histografi jenis babad. Dan hingga kini belum pernah berubah. Namun sejatinya, dokumen sejarah yang nyata tidak ada. Bahkan slaing dikroscek dengan perpustakaan di Leiden Belanda, cerita Perang Bubat sebagai bagian sejarah tidak diketemukan. Jadi ada kemungkinan kidung buatan Belanda di Nusantara, yang tidak valid sebagai dokumen sejarah. 

Kitab pararaton atau dikenal juga dengan istilah serat pararaton. Kitab pararaton atau serat pararaton ini merupakan sebuah kitab naskah sastra Jawa di abad Pertengahan yang kemudian diubah dalam bahasa Jawa Kawi.  Kitab pararaton sendiri sebenarnya merupakan sebuah naskah cukup singkat karena kitabnya para raja Jawa ini hanya berisi sekitar 32 halaman saja yang ukurannya seukuran folio dan terdiri atas 1126 baris.

Isi dari kitab pararaton adalah berisi tentang "sejarah" raja -- raja. Sebenarnya kisah-kisah berurutan dari awal hingga kejayaan Majapahit. Namun sekali lagi, kelaziman buku sejarah akan ditemukan juga referensi pembanding, namun kisah di Pararaton ini ya hanya ada di Pararaton. 

Kitab ini juga dikenal dengan nama Pustaka Raja yang didalam bahasa Sansekerta juga berarti kitab para raja -- raja. Kitab ini cukup detail menjelaskan tentang para raja akan tetapi tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa orang yang menjadi penulis kitab Pararaton ini. 

Dengan demikian, sejarahwan kesulitan melacak siapa yang menulis Pararaton. Bahkan, isinya berkisah mistis mitologis, sampai ke nenek moyang Majapahit yang diarahkan ke Ken Angrok, penjahat yang bisa menjadi raja setelah Revolusi Keris Empu Gandring, yang juga dahsyat cerita mistisnya.

NAh, kisah Perang Bubat ya hanya ada di Pararaton ini. Dilacak di literatur lain, tidak ditemukan.

Jika perlu bertanya lebih lanjut, disilakan ke KH Agus Sunyoto, MPd ya... supaya langsung ke beliau selaku peneliti sejarah dan kitab-kitab Jawa ini.  

(2) Sumpah Palapa itu tidak ada 

Menurut Pak Agus, Sumpah Palapa itu juga kemungkinan tidak terjadi di jaman Majapahit. Mengapa demikian, karena wilayah kerajaan Majapahit sejatinya lebih luas ketimbang yang diucapkan dalam Sumpah Palapa tersebut. Kerajaan Majapahit, adalah imperium yang disegani bahkan sampai ke wilayah China, Kamboja, Thailand, dan Asia Tengah lainnya ketika itu. 

Maka Sumpah Amukti Palapa, dikesankan mereduksi kebesaran Majapahit dengan hanya diramalkan oleh sebuah naskah Sumpah.

Klarifikasi, silakan ke Pak Agus ya... agak njlimet untuk menarasikan di sini. 

(3) Gadjah Mada adalah Intelektual Kerajaan Majapahit 

Sebenarnya Gajah Mada adalah ahli hukum dan intelektual Majapahit yang dihormati dan memiliki banyak karya literasi ketika itu. 

Menurut Pak Agus, Sumpah Amukti Palapa nyaris tidak didukung data yang memadai.  Padahal dalam naskah Negarakertagama justru menyebut wilayah yang jauh lebih luas dari Sumpah Amukti Palapa, sehingga peran Gadjah Mada sebenarnya bukan tipe penakluk, namun lebih sebagai intelektual handal kerajaan. Naskah Negarakertagama, hanya sedikit membahas peran Gajah Mada dalam penaklukan-penaklukan. Kerajaan Majapahit, sudah lebih dahulu berjaya sebelum adanya Sumpah Amukti tersebut.

Lebih lanjut,  Pak Agus mengatakan bahwa justru dalam  data primer berupa Prasasti Gajah Mada yang menguraikan tokoh tersebut dalam penetapan Pembangunan Candi Singhasari untuk memperingati Sri Kertanegara juga tidak pernah dibahas.

Karya besar Gajah Mada dalam menyempurnakan KUHP Majapahit Kutaramanawa Dharmasastra yang menunjukkan Gajah Mada ahli hukum pun tidak pernah disinggung dalam Pararaton. 

Jadi, jika ada friksi besar dengan dikesankan Gajah Mada adalah seorang megalomania di Perang Bubat versi Pararaton, maka ini adalah kesalahan besar. 

Jika ingin bertanya, saya sarankan tetap ke Pak Agus nggih... saya menyajikan sebagai bahan diskusi saja yang lumayan menarik. Bahwa paparan yang setelah diteliti, diduga adalah naskah hoaks, bisa memporakporandakan budaya 2 suku bangsa yang dominan ketika itu.

Masih ingatkah kita terhadap Gubernur Jenderal Raffless,  penguasa Nusantara 1811 - 1819 M, di jamannya yang menulis buku History of Java dan pendiri Negara Singapura?  Warta sebagian mengatakan bahwa ia pernah mengangkut berpeti-peti kitab kerajaan di Jawa dan membawanya ke Inggris untuk dipelajari.

STIAMAK Barunawati Surabaya yang konsen dalam administrasi bisnis, ekonomi kemaritiman, kepemimpinan masa depan, sangat tertarik untuk nantinya menggali diskusi tentang ini mengingat kejayaan Majapahit adalah kejayaan Bisnis Kemaritiman Nusantara, yang dulu kita berkuasa, mengapa sekarang ini kita menjadi terpinggirkan? Mengapa jejak Majapahit hilang ditelan bumi, bahkan orang Mojokerto sebagai bagian dari situs sejarah, saat ini lebih dikenal sebagai wilayah biasa dan bukan sebuah Daerah Istimewa? 

Waduhh... tambah panjang nih ceritanya.. saya berhenti dulu sampai ke simpulan sementara: perang bubat adalah cerita yang dianggap sejarah, informasi tidak bisa dikroscek ke kitab lain, namun telanjur menimbulkan luka budaya. Bahwa berita yang ternyata, bisa jadi, adalah hoaks, ternyata mampu menimbulkan berabad konflik antar suku bangsa.


Dalam konstelasi politik, maka akhirnya dikenal, Jawa adalah Kunci. Bukan dalam arti suku ini paling unggul, namun barang siapa menguasai Jawa, maka akan menguasai kekuasaan. Maka, itu sudah diprediksi sehingga hikayat mitos Perang Bubat perlu dibuat. 

Dan sudah dituai hasilnya; 350 tahun di bawah kolonialisme. 

Dan sekarang mulai digugat sejarah yang dianggap dibuat-buat tersebut.

Data penduduk berdasar sumber tahun 2020 sbb: 

Jumlah penduduk mencari incaran parpol, adakah perang Bubat Jiid II ? (Foto: idntimes.com)
Jumlah penduduk mencari incaran parpol, adakah perang Bubat Jiid II ? (Foto: idntimes.com)

Bagaimana kelanjutan di masa depan, pena masih akan terus dituliskan oleh semua warga dunia. Sebelum itu selesei, kita sangat pasti akan sudah meninggalkan dunia ini. Semoga peradaban manusia semakin baik. 

Kebaikan akan menjadi pemenang. Suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti. Segala kebatilan kejahatan akan dikalahkan oleh akal budi yang baik. Sejarah akan terus diluruskan. Semoga manusia semakin maju beradab dan menebar kebaikan untuk sesama. (21.02.2021/Endepe) 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun