Mohon tunggu...
E. Nugroho
E. Nugroho Mohon Tunggu... Dokter - Dokter, ilmuwan, seniman, pengamat bahasa

Dokter, pengamat bahasa, pengamat sosial

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Jangan Kaitkan Uber, yang Diuber-Uber, dengan Asing

13 September 2015   12:54 Diperbarui: 13 September 2015   13:14 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu-minggu ini kita disuguhi berita-berita tak enak soal Uber. Uber diuber-uber oleh Ridwan Kamil, Dishub DKI, dll. Biar sajalah (nanti kita bahas di artikel lain saja).

Tapi, dalam salah satu perdebatan dengan kenalan, muncul alasan: jangan biarkan Uber; dia perusahaan Amerika Serikat. Seenaknya cari duit di Indonesia... Nah. Muncul asing dan tidak-asing di sini. Bagi yang berpandangan demikian-- catat, dulu aku juga--ada baiknya direnungkan hal ini. Karena aku juga baru melek.

Setiap kali kita buka HP android kita, sadarkah kita bahwa itu memberi duit, sekian ratus atau ribu rupiah, pada Google, perusahaan AS, dari segi softwarenya? Ya Google yang luar biasa kaya raya itu mendapat duit dari aku, dari kamu, dari kita, juga anggota FPI yang konon musuh AS, karena kita menggunakan teknologi dia.  Mengapa tetap kita lakukan? Karena kita mendapat untung juga dari teknologi dia. Begitu saja; sederhana, jawabnya.

Jadi, kurang baik kalau paradigmanya (nah aku pakai istilah muluk yg aku tidak ketahui ini; pakai "cara pikir" saja deh) jangan asing vs non-asing atau aseng, tapi "apakah hal itu juga menguntungkan kita". Ya. Sederhana saja. Apa kita juga dapat untung. Kalau mau melihat dengan mata terbuka, hati lapang, otak tak tercemar, maka semua yang kita lakukan boleh dikata ada kaitannya dengan "asing" dalam arti menguntungkan asing, memperkaya bangsa asing.

Saat mulai berangkat ke kantor, dulu aku naik mobil Toyota (kasih duit pada Jepang); anak buah ada yang naik bus Trans-Jakarta, kasih duit pada RRC dan Swedia (??). Sesampai di kantor, buka HP. Itu kasih duit pada Korea (Samsung), AS (iPhone), Cina (Huawei, Xiaomi), Jepang (Sony), empat raksasa HP dunia. Makan siang pakai nasi? Itu sebagian impor dari Thailand. Kasih duit pada petani sana. Pulang kerja, capai, duduk santai, buka pesawat TV; tidak ada pesawat TV yang asli semua buatan Indonesia, lho. Yang bagus Jepang, Korea. Eh, acaranya kan asli Indonesia? Eh, lihat berapa banyak tayangan asing di dalamnya. Juga di dalam beritanya. Karena, seharusnya, stasiun TV juga bayar untuk tayangan berita yang bersumber dari asing (AP, Reuter, CNN, Youtube dll.), kecuali membajak, yang mungkin juga dilakukan. Eh, tanpa semua itu, satelit Palapa, yang dipakai untuk siaran TV, juga dibuat oleh asing, dilontarkan ke orbit oleh Cina, AS, Eropa atau Rusia. Tidak ada yang dilontarkan oleh orang Indonesia kecuali kulit pisang di jalan-jalan.

Nah... Sampai di sini aku mulai terbuka. Melek. Ternyata semua barang asing ada di setiap langkah kehidupanku. Ternyata Indonesia, setelah 70 tahun merdeka, masih terjajah dalam masalah ini. Bisakah kita mencampakkan semua yang berbau asing itu ke luar dari kehidupan kita? Tidak bisa. Karena dunia telah begitu menyatunya. Tidak ada perusahaan yang membuat barang elektronik dengan 100% bahan atau komponen dalam negeri sendiri. Bahkan iPhone membuat semua pesawat HP-nya di luar AS, di RRC. Dan Cina pun membuat HP-nya dengan komponen dari Korea, Jepang dan AS.  Yang bisa kita lakukan adalah mengurangi komponen asing itu dengan barang produksi dalam negeri.

Balik soal Uber, jadi bagaimana? Apa kita mendapat untung dari Uber? Jelas. Tanyakan pada 6000 sopir Uber dan ratusan ribu penumpang yang telah naik. Biaya jauh lebih murah... Jadi, biarkan sajalah. Apalagi aku masih punya saldo 75.000 rupiah (promo) yang tidak pernah aku gunakan untuk naik Uber.

 -------------

Edit: Mbok ada orang Indonesia yang bikin perusahaan seperti Uber ini, ya. Kan masalah selesai. Tidak sulit-sulit amat softwarenya.

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun