Drona di medan Bharatayudha
Saat perang besar pecah, Drona diangkat menjadi panglima Kurawa menggantikan Bhisma. Di sini, ia tak lagi hanya guru, tetapi algojo bersenjata mantra.
Hari ketiga belas adalah titik nadir. Drona menyusun formasi cakravyuha untuk menjebak Abhimanyu, putra Arjuna yang baru remaja. Ia tahu bocah itu tak bisa keluar dari formasi. Tetapi ia membiarkan para komandan Kurawa mengeroyoknya hingga mati.
Seorang guru yang dulu mengajar "dharma" kini menjadi saksi bisu pembantaian murid sahabatnya sendiri.
Tipu Daya dan Kematian
Hari kelima belas, Krishna menyusun siasat. Gajah bernama Ashvattama dibunuh. Bhima berteriak: *"Ashvattama mati!"* Yudhistira, yang terkenal jujur, membenarkan. Drona tak mendengar kelanjutannya: *"...gajah Ashvattama, bukan anakmu."*
Pukulan itu menghancurkan hatinya. Resi Atri turun, mengingatkan: *"Engkau brahmana, tak pantas membantai seperti ini. Kembalilah pada Sanatana Dharma."*
Drona duduk bersila, menutup mata, mencoba kembali menjadi suci. Tetapi pada detik itulah Drestadyumna menebas lehernya. Ruhnya pergi, meninggalkan medan yang penuh darah, dendam, dan penyesalan.
 Satire untuk Zaman Ini
Mengapa kisah ini terasa akrab, bahkan untuk zaman kita? Karena di negeri ini, kita pun sering melihat Drona-Drona modern.
Ada guru yang terjebak sistem, menukar integritas dengan fasilitas. Ada dosen yang ilmunya tinggi, tetapi memilih membimbing hanya mahasiswa "pilihan", bukan yang datang dari pinggiran. Ada pejabat yang dulu miskin lalu mengajar "integritas" sambil mengisi rekening di luar negeri.