Ketika memberikan kuliah, banyak mahasiswa kurang memahami bagaimana  kebiasaan harus di bangun, saya sarankan untuk membaca banyak buku motivasi. Untuk lebih banyak membangun olah rasa dan pemahaman. Salah satu saran saya adalah buku yang akan saya narasikan berikut ini.
Ada sebuah buku, ditulis lebih dari tiga dekade lalu, yang hingga kini masih menjadi semacam kitab kecil bagi banyak orang yang ingin menemukan arah dalam hidupnya. Stephen R. Covey menulisnya dengan judul *The 7 Habits of Highly Effective People*. Tujuh kebiasaan itu bukan sekadar daftar kiat sukses. Ia lebih menyerupai cermin: memantulkan wajah kita yang rapuh, penuh keraguan, sekaligus memberi gambaran tentang potensi yang bisa tumbuh.
Covey tidak menulis kisahnya sendiri. Ia menyusun pengalaman orang-orang, menyarikan pola hidup dari mereka yang berhasil menata diri, pekerjaan, dan relasi. Itu sebabnya, buku ini terasa universal. Kita membacanya seperti mendengar cerita lama yang akrab, namun entah mengapa tetap baru setiap kali.
Kebiasaan pertama: Â "Be Proactive".
Menjadi proaktif. Sebuah kata sederhana yang mengandung perintah untuk mengambil tanggung jawab atas hidup sendiri. Covey seperti ingin mengingatkan bahwa sering kali kita hidup dengan menyalahkan cuaca, keadaan, pemerintah, orang tua, bahkan pasangan. Padahal, yang sebenarnya menentukan hidup kita bukanlah apa yang terjadi di luar, melainkan bagaimana kita merespons.
Ada seorang buruh migran di Hong Kong yang pernah saya temui. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Upahnya tak seberapa, jam kerjanya panjang. Tapi tiap minggu, di hari liburnya, ia duduk di perpustakaan umum, membaca buku bahasa Inggris, melatih diri menulis catatan harian. "Saya tidak bisa memilih nasib saya sekarang," katanya, "tapi saya bisa memilih bagaimana saya belajar darinya." Itu proaktif.
Kebiasaan kedua: "Begin with the End in Mind".
Mulailah dengan tujuan di benak. Seperti seorang pelukis yang tak pernah menggoreskan kuas tanpa membayangkan bentuk akhirnya. Dalam hidup, kita sering berjalan tergesa-gesa, seakan-akan yang penting adalah melangkah, bukan ke mana arah langkah itu.
Covey meminta kita untuk berhenti sejenak, lalu membayangkan: bagaimana kita ingin dikenang? Apa yang ingin tertulis di batu nisan kita? Pertanyaan yang tampak muram, tapi justru memberi terang. Seorang teman saya pernah berkata: "Kalau saya mati nanti, saya ingin anak-anak saya mengingat saya bukan karena uang, tapi karena kebaikan." Sejak itu ia mengubah cara kerjanya: tidak lagi mengejar lembur semata, tapi meluangkan waktu setiap sore untuk bermain bersama mereka.
Kebiasaan ketiga: "Put First Things First".
Mendahulukan yang utama. Dunia modern terlalu sering menggoda kita dengan daftar pekerjaan yang panjang, notifikasi tak habis-habis, berita yang bergulir cepat. Kita sibuk, tapi tak selalu produktif. Covey membedakan antara yang penting dan yang mendesak. Banyak hal mendesak, tapi sebenarnya remeh.
Seorang profesor tua di kelas pernah membawa sebuah stoples kosong. Ia mengisinya dengan batu besar, lalu bertanya kepada murid-murid: apakah stoples sudah penuh? Mereka mengangguk. Sang profesor lalu menuangkan kerikil, lalu pasir, lalu air. Barulah ia berkata: hidup itu seperti stoples. Kalau kita tidak menaruh batu besar lebih dulu---hal-hal penting dalam hidup---maka ia tak akan pernah masuk. Batu besar itu bisa berarti kesehatan, keluarga, atau mimpi yang sejak lama kita tunda.
Kebiasaan keempat: "Think Win-Win"
Berpikir menang-menang. Dunia kerap dipersepsikan sebagai arena persaingan. Kalau saya untung, orang lain rugi. Covey menolak dikotomi itu. Ada cara hidup yang memungkinkan kedua pihak tumbuh bersama.
Saya teringat kisah seorang pengusaha kecil di Bali. Ia menjual kopi dari desa, tapi ia tak mau sekadar membeli murah dari petani. Ia melatih mereka mengolah biji dengan benar, memberi harga yang lebih adil. "Kalau mereka sejahtera, saya pun bahagia," katanya. Itu bukan retorika manis. Nyatanya, usaha itu berkembang karena kepercayaan. Kita kadang lupa, hubungan yang saling menguntungkan bisa lebih kokoh daripada kontrak tertulis.
Kebiasaan kelima: "Seek First to Understand, Then to Be Understood"
Carilah untuk memahami dulu, baru dipahami. Barangkali inilah kebiasaan yang paling sulit di zaman sekarang. Kita hidup dalam dunia yang penuh suara, tapi jarang mendengar. Orang lebih suka menunggu giliran berbicara ketimbang sungguh-sungguh menyimak.
Covey mengajarkan bahwa empati lebih berharga daripada argumen. Saya teringat seorang sahabat yang sedang dirundung masalah rumah tangga. Ia berkata, "Aku tidak butuh nasihat panjang, aku hanya butuh seseorang mendengarkan." Kadang memahami berarti menahan lidah, memberi ruang, dan hadir sepenuhnya. Bukankah itu juga yang sering kita rindukan?
Kebiasaan keenam: "Synergize"
Bekerjasama dengan sinergi. Satu ditambah satu bisa lebih dari dua. Bukan hanya soal kerja tim, tapi juga soal menyadari bahwa perbedaan bisa melahirkan kekuatan baru.
Di sebuah komunitas seni, saya pernah melihat bagaimana seorang pematung dan seorang penari kolaborasi. Keduanya berbeda dunia. Namun ketika karya patung dipamerkan dengan tarian yang mengiringi, keduanya saling melengkapi. Itulah sinergi. Bukan menyeragamkan, melainkan menghargai keragaman. Dunia yang terpecah belah hari ini justru semakin membutuhkan kebiasaan itu.
Kebiasaan ketujuh: "Sharpen the Saw".
Mengasah gergaji. Sebuah metafora yang indah. Seorang penebang pohon bisa bekerja seharian dengan gergaji tumpul, tapi hasilnya sedikit. Lebih bijak jika ia berhenti sejenak, mengasah gergajinya, lalu melanjutkan pekerjaan. Hidup pun demikian. Kita butuh berhenti untuk merawat diri: tubuh, pikiran, jiwa, bahkan spiritualitas.
Ada seorang guru yoga yang pernah berkata: "Istirahat bukan kemalasan, melainkan bagian dari kerja." Banyak orang sukses yang tahu cara bekerja keras, tapi lebih sedikit yang tahu cara berhenti dengan tenang. Covey mengingatkan kita untuk menjaga keseimbangan itu.
Tujuh kebiasaan ini, kalau dibaca sepintas, memang tampak sederhana. Namun kesederhanaan itulah yang membuatnya tahan lama. Covey tidak menjanjikan jalan pintas. Ia hanya menunjukkan arah yang perlahan, tapi mantap.
Mungkin sebab itu, buku ini terus dicetak ulang, dibaca orang di berbagai bahasa. Ia bukan sekadar teks manajemen, melainkan semacam kompas moral. Di dalamnya, kita belajar bahwa efektivitas bukanlah soal meraih lebih banyak, melainkan menjadi lebih manusiawi.
Di akhir hari, kita mungkin tidak akan diingat karena berapa banyak harta yang terkumpul, atau berapa proyek yang selesai. Kita akan diingat karena kebiasaan-kebiasaan kecil: cara kita bertanggung jawab, cara kita memulai dengan tujuan, cara kita mendahulukan yang penting, cara kita membuat orang lain ikut menang, cara kita mendengar, cara kita bersinergi, dan cara kita menjaga diri.
Stephen R. Covey menulisnya sebagai kebiasaan. Sebab sukses, rupanya, bukanlah peristiwa sekali jadi. Ia adalah latihan yang diulang, setiap hari, dengan penuh kesadaran.
Dan barangkali, di sanalah letak keindahannya: hidup yang efektif bukanlah hidup yang sempurna, melainkan hidup yang terus berusaha.Rahayu****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI