Saya teringat kisah seorang pengusaha kecil di Bali. Ia menjual kopi dari desa, tapi ia tak mau sekadar membeli murah dari petani. Ia melatih mereka mengolah biji dengan benar, memberi harga yang lebih adil. "Kalau mereka sejahtera, saya pun bahagia," katanya. Itu bukan retorika manis. Nyatanya, usaha itu berkembang karena kepercayaan. Kita kadang lupa, hubungan yang saling menguntungkan bisa lebih kokoh daripada kontrak tertulis.
Kebiasaan kelima: "Seek First to Understand, Then to Be Understood"
Carilah untuk memahami dulu, baru dipahami. Barangkali inilah kebiasaan yang paling sulit di zaman sekarang. Kita hidup dalam dunia yang penuh suara, tapi jarang mendengar. Orang lebih suka menunggu giliran berbicara ketimbang sungguh-sungguh menyimak.
Covey mengajarkan bahwa empati lebih berharga daripada argumen. Saya teringat seorang sahabat yang sedang dirundung masalah rumah tangga. Ia berkata, "Aku tidak butuh nasihat panjang, aku hanya butuh seseorang mendengarkan." Kadang memahami berarti menahan lidah, memberi ruang, dan hadir sepenuhnya. Bukankah itu juga yang sering kita rindukan?
Kebiasaan keenam: "Synergize"
Bekerjasama dengan sinergi. Satu ditambah satu bisa lebih dari dua. Bukan hanya soal kerja tim, tapi juga soal menyadari bahwa perbedaan bisa melahirkan kekuatan baru.
Di sebuah komunitas seni, saya pernah melihat bagaimana seorang pematung dan seorang penari kolaborasi. Keduanya berbeda dunia. Namun ketika karya patung dipamerkan dengan tarian yang mengiringi, keduanya saling melengkapi. Itulah sinergi. Bukan menyeragamkan, melainkan menghargai keragaman. Dunia yang terpecah belah hari ini justru semakin membutuhkan kebiasaan itu.
Kebiasaan ketujuh: "Sharpen the Saw".
Mengasah gergaji. Sebuah metafora yang indah. Seorang penebang pohon bisa bekerja seharian dengan gergaji tumpul, tapi hasilnya sedikit. Lebih bijak jika ia berhenti sejenak, mengasah gergajinya, lalu melanjutkan pekerjaan. Hidup pun demikian. Kita butuh berhenti untuk merawat diri: tubuh, pikiran, jiwa, bahkan spiritualitas.
Ada seorang guru yoga yang pernah berkata: "Istirahat bukan kemalasan, melainkan bagian dari kerja." Banyak orang sukses yang tahu cara bekerja keras, tapi lebih sedikit yang tahu cara berhenti dengan tenang. Covey mengingatkan kita untuk menjaga keseimbangan itu.
Tujuh kebiasaan ini, kalau dibaca sepintas, memang tampak sederhana. Namun kesederhanaan itulah yang membuatnya tahan lama. Covey tidak menjanjikan jalan pintas. Ia hanya menunjukkan arah yang perlahan, tapi mantap.
Mungkin sebab itu, buku ini terus dicetak ulang, dibaca orang di berbagai bahasa. Ia bukan sekadar teks manajemen, melainkan semacam kompas moral. Di dalamnya, kita belajar bahwa efektivitas bukanlah soal meraih lebih banyak, melainkan menjadi lebih manusiawi.
Di akhir hari, kita mungkin tidak akan diingat karena berapa banyak harta yang terkumpul, atau berapa proyek yang selesai. Kita akan diingat karena kebiasaan-kebiasaan kecil: cara kita bertanggung jawab, cara kita memulai dengan tujuan, cara kita mendahulukan yang penting, cara kita membuat orang lain ikut menang, cara kita mendengar, cara kita bersinergi, dan cara kita menjaga diri.
Stephen R. Covey menulisnya sebagai kebiasaan. Sebab sukses, rupanya, bukanlah peristiwa sekali jadi. Ia adalah latihan yang diulang, setiap hari, dengan penuh kesadaran.