Akhirnya, mobilitas bukan hanya perjalanan fisik dari rumah ke kampus, melainkan juga perjalanan makna. Setiap moda transportasi membawa cerita: tentang siapa kita, bagaimana kita ingin dilihat, dan keputusan-keputusan kecil yang kita ambil di antara dua titik di peta.
Penutup
Pada akhirnya, kita memang sering mengukur perjalanan dengan angka. Berapa liter bensin. Berapa ribu rupiah. Berapa menit tempuh. Seolah semua bisa diperas menjadi hitungan sederhana di kalkulator.Â
Tapi hidup tidak pernah hanya berhenti di hitungan itu. Ada harga yang tidak pernah tertera di struk SPBU—harga udara pagi yang menusuk hidung, harga tatapan mata orang yang kita lewati, harga hening yang menyelinap di lampu merah.
Teman-teman saya mungkin merasa gagah dengan mobilnya. Tak apa. Biarlah mereka mengukur diri dengan bentuk bodi dan merek kendaraan.Â
Saya lebih suka mengukur diri dengan ketepatan hadir di kelas, dengan kalimat yang berhasil membuat mahasiswa berpikir lebih lama dari biasanya.
Karena di dunia ini, ada dua macam perjalanan: yang diukur oleh panjang jalan, dan yang diukur oleh kedalaman hati. Motor saya, murah biaya dan sederhana wujudnya, sudah cukup membawa saya sampai ke kedalaman yang saya butuhkan.
Sisanya, biarlah angin yang menyimpannya. semoga bermanfaat***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI