Akhirnya, soal biaya transportasi ini hanyalah angka. Dua puluh ribu untuk empat hari, tiga puluh ribu untuk tangki penuh. Angka yang kecil jika dibandingkan dengan nilai pekerjaan yang saya lakukan setiap hari. Tapi di balik angka kecil itu, ada filosofi yang lebih besar: memilih cara yang efisien, cepat, dan cukup.
Dan “cukup” itu, dalam dunia yang terus mendorong kita untuk ingin lebih, adalah kemewahan tersendiri.
Mobilitas sehari-hari bukan sekadar soal jarak dan waktu tempuh. Menurut Otto (2010) dalam The Psychology of Transport Choice, pilihan moda transportasi kerap dipengaruhi oleh kebiasaan, rutinitas, dan sikap (attitude) individu.
Faktor-faktor ini membentuk pola tetap yang lama-kelamaan menjadi bagian dari gaya hidup. Misalnya, seorang mahasiswa dengan keinginan tinggi untuk eksis dan mendapat pengakuan sosial cenderung memilih mobil sebagai alat transportasi. Mobil di sini bukan sekadar alat bergerak, tetapi simbol status yang dianggap dapat meningkatkan martabat di mata orang lain.
Kecenderungan tersebut selaras dengan pandangan Astrid S. Susanto dalam Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Ia menjelaskan bahwa kendaraan, bagi sebagian besar masyarakat, bukan hanya utility goods—barang yang berguna untuk memenuhi kebutuhan praktis—tetapi juga prestige goods, barang yang memberi gengsi. Prestige lahir ketika ada pengakuan sosial terhadap kepemilikan atau penggunaan sesuatu.
Dalam konteks ke kampus, mengendarai mobil sering kali menjadi pernyataan diam-diam tentang posisi sosial, kemandirian ekonomi, atau keberhasilan personal.
Namun, prestige bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Keadaan ekonomi turut memengaruhi. Studi dalam Indonesian Green Technology Journal mengenai pemilihan moda transportasi di Universitas Brawijaya menunjukkan hubungan yang jelas antara pendapatan dan pilihan moda.
Mahasiswa dengan pendapatan di bawah satu juta rupiah cenderung berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum. Mereka menghitung dengan cermat biaya perjalanan, dan moda yang lebih murah menjadi pilihan logis.
Sebaliknya, mahasiswa dengan pendapatan di atas satu juta rupiah lebih banyak memilih kendaraan pribadi. Pada tingkat pendapatan ini, biaya bensin atau parkir tidak lagi menjadi beban utama, sehingga kenyamanan dan fleksibilitas menjadi prioritas.
Dalam kenyataan sehari-hari, pilihan moda transportasi mencerminkan perpaduan antara kebutuhan, kebiasaan, dan citra diri.
Ada yang memilih mobil karena gengsi, ada yang memilih motor karena efisiensi, dan ada pula yang tetap berjalan kaki demi penghematan atau kesehatan. Setiap pilihan adalah cerminan nilai yang dipegang: apakah kenyamanan, kecepatan, pengakuan sosial, atau penghematan biaya.