Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

SPMB dan labirin Domisili: Sebuah Ode Untuk Orang Tua Yang Tersesat

13 Juli 2025   18:09 Diperbarui: 13 Juli 2025   18:09 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pngtree.com 

Setiap tahun, datanglah ia bagai musim pancaroba: Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB). Dan seperti angin yang berubah arah tanpa permisi, regulasi SPMB juga kerap berganti. Tahun ini, 2025, Pemerintah Kabupaten Buleleng lewat Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) kembali menegaskan komitmen luhur mereka: objektif, transparan, akuntabel, dan---tentu saja---berkeadilan. Sebuah mantra yang diulang-ulang seakan bisa menenangkan badai kebingungan di benak para orang tua.

Di atas podium aula SMKN 2 Singaraja, Kamis (8/5), Sekretaris Disdikpora Ida Bagus Gde Surya Bharata berdiri penuh keyakinan, menyampaikan pesan yang tak kalah megahnya dari janji kampanye: "Sekolah tidak boleh menerima murid melebihi daya tampung yang tercatat di Dapodik." Tak lupa, ia menyebut empat jalur penerimaan---domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi---sebagai pilar adil makmur dalam dunia pendidikan. Seakan dengan menyebut keempat kata sakti itu, semua anak akan mendapat tempat, dan semua orang tua akan tenang hatinya.

Namun, realitas di luar aula tidaklah seindah bunyi SK Bupati Nomor 100.3.3.2/195/HK/2025. Begitu acara selesai, dan para pejabat kembali ke kursi empuk masing-masing, orang tua pun mulai saling bertanya dengan lirih: "Ini maksudnya apa, ya?"

Sebut saja Ni Luh Komang, seorang ibu dari Desa Banyuatis. Ia baru saja pindah domisili ke wilayah Singaraja 6 bulan lalu demi pendidikan yang lebih baik untuk anaknya. Sebuah pengorbanan. Tapi rupanya, SPMB bukan hanya urusan niat baik---ia adalah arena pertarungan data dan kode pos.

Ketika anaknya mencoba mendaftar ke SMA Negeri favorit, sistem menolak mentah-mentah: "Domisili baru belum memenuhi syarat minimal satu tahun." Ia pun kebingungan. "Dulu, tetangganya bisa masuk hanya dengan KK fotokopian," katanya. Tapi tahun ini, sistem berubah. Atau mungkin tidak. Mungkin hanya aplikasinya yang sekarang lebih cerewet daripada petugas loket. Yang jelas, tidak ada yang memberi tahu perubahan itu. Apalagi menjelaskan.

Ia menelepon ke sekolah, diarahkan ke Dinas. Dari Dinas disarankan buka website. Di website ada tautan PDF sepanjang kitab suci. Di situ tertulis semua petunjuk teknis dalam bahasa yang tampaknya dirancang bukan untuk dibaca, melainkan untuk disakralkan. Ni Luh Komang menyerah di halaman ketiga, ketika membaca istilah "verifikasi faktual berdasarkan radius zonasi".

"Apakah radius ini bisa dinegosiasi?" pikirnya polos.

Anaknya, Komang Dwi, juga tidak kalah canggung. Ia terlalu polos untuk ikut "jalur prestasi", terlalu baru untuk "jalur domisili", dan terlalu tidak tahu diri untuk ikut "jalur afirmasi". Maka tinggalah ia di lorong mutasi, menunggu nasib yang tak kunjung pasti.

"Dulu bisa pakai surat keterangan kerja orang tua," gumamnya. "Tahun lalu kakakku pakai itu."

Tapi SPMB bukan soal keluarga, apalagi akal sehat. SPMB adalah ritual tahunan yang harus dijalani dengan pengorbanan. Tahun lalu boleh. Tahun ini? Maaf, belum tentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun