Tiupan pertama. Geming. Ah, atap seng berkarat itu cukup kuat rupanya.
Aku meminta Angin meniup lebih kencang.
Whuuuuuush.
Terbuka sedikit. Tapi belum sempat aku masuk, celah itu sudah kembali menutup.
"Ayo Angin, lebih kuat lagi!"
Whuuuuuuuush. Krrrrk, kbraaak!
Ups, malah terlalu kencang.Â
Kali ini atap teras rumah yang terbang dan tersangkut di pohon sukun tetangga. Alih-alih masuk ke kamar Rinai, aku malah berhamburan menjajaki teras dan mengetuk pintu rumahnya.
Bapak tampak geram sekali. Ia sesekali mengumpat dengan suara tertahan. Ibuk gemetaran mengendalikan jantungnya yang tak mampu tenang. Sementara Rinai diam saja, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan kecemasan.
Dan lalu, hanya ada penyesalan. Rinai semakin jauh. Ia jadi enggan hujan-hujanan. Tidak ada lagi senyum yang menyambutku dengan riang. Setiap kali aku datang, tanpa komando ia akan berlari masuk ke rumah, memeluk Ibuk. Ketakutan.
Pernah sekali, aku berupaya memperbaiki keadaan. Aku ingin bertemu Rinai untuk meminta maaf. Tapi, baru sedepa aku menelusup ke dalam rumah, Rinai malah menatapku penuh kebencian. Ia menggelungkan badan di atas kursi dan berdoa.