Mohon tunggu...
Nurmitra Sari Purba
Nurmitra Sari Purba Mohon Tunggu... Programmer - Statistician

Menulis untuk mencerdaskan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi

2 Agustus 2020   13:02 Diperbarui: 2 Agustus 2020   13:17 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: borobudurnews.com

Mengapa cukai rokok harus naik saat pandemi covid-19?

Seperti yang kita lihat sekarang, wabah virus corona meningkat dengan masif. Pemerintah juga sudah menerapkan sejumlah upaya dan kebijakan untuk menekan penularan virus corona. Tetapi, ada satu hal yang sangat berpotensi memperparah infeksi virus mematikan itu namun pemerintah belum menyikapi dengan maksimal. Hal yang dimaksud adalah perilaku merokok.

Perilaku merokok adalah faktor terbesar munculnya penyakit tidak menular (PTM). Adapun yang tergolong penyakit tidak menular antara lain kanker, stroke, gagal ginjal, diabetes, dan hipertensi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 sendiri menunjukkan bahwa penyebab utama kematian di Indonesia adalah PTM yaitu kanker, stroke, gagal ginjal, diabetes dan hipertensi.

Berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) yang dirilis pada tahun 2019, bertajuk 'The Tobacco Control Atlas, Asean Region', Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di ASEAN, yakni 65,19 juta orang. Tingginya jumlah perokok akan memperburuk insiden PTM dan memperparah infeksi virus corona. 

Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk segera menaikkan cukai rokok  agar konsumsi rokok masyarakat menurun. Cukai rokok di Indonesia sendiri merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain, yakni 57 persen, sebagaimana yang dituturkan oleh Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.

Tetapi, bukankah pemerintah telah menaikkan cukai rokok?

Ya. Pada awal tahun 2020 ini pemerintah telah menaikkan cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran rokok sebesar 35%. Tetapi, kenaikan harga cukai rokok di pasaran masih belum menurunkan konsumsi rokok karena harganya yang masih terjangkau. Prof. Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau dalam talk show ruang publik KBR yang mengusung tema 'Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi?' mengatakan keberhasilan kebijakan menaikkan cukai rokok jangan dilihat dari besar persentase kenaikannya, namun dilihat dari ketercapaian tujuan. 

Kalau konsumsi rokok menurun, baru dapat dikatakan kebijakan tersebut memiliki efek. Beliau kemudian mengatakan bahwa 10 tahun yang lalu rokok yang diproduksi adalah sebanyak 220 miliar batang, kini semakin meningkat menjadi 330 miliar batang. Dan faktanya 5 tahun terakhir semakin banyak anak remaja yang merokok. Artinya, harga rokok masih terjangkau oleh mereka. Kenaikan cukai saat ini belum mencapai tujuan sehingga harus dinaikkan lagi sampai terjadi penurunan konsumsi masyarakat.

Penting kita sadari bahwa cukai rokok pada dasarnya merupakan "pajak penebus dosa" alias sin tax. Penetapan cukai berangkat dari pemahaman bahwa rokok merupakan barang konsumsi yang mendatangkan banyak mudarat, seperti halnya minuman keras. Oleh karena itu, cukai ditetapkan untuk membatasi konsumsinya.

Berapa batas harga yang dapat menurunkan konsumsi rokok?

Terdapat sebuah penelitian dari studi Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia yang diterbitkan di Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia. Dalam studi tersebut, dilakukan survei terhadap 1.000 orang dari 22 provinsi dengan tingkat penghasilan di bawah Rp1 juta sampai di atas Rp20 juta. Sebanyak 82% responden setuju jika harga rokok dinaikkan untuk mendanai JKN -- yang biasa dikenal sebagai BPJS. 

Peserta kemudian ditanya berapakah harga rokok maksimal yang masih sanggup untuk dibeli. Sebanyak 72% mengatakan akan berhenti merokok jika harga satu bungkus rokok naik tiga kali lipat. Hasil yang senada juga dihasilkan dari penelitian sebelumnya di Malaysia, Singapura, Inggris, dan Australia. Penelitian tersebut menunjukkan jika kenaikan harga rokok sebesar dua kali lipat maka konsumsinya turun 30%. Dalam ilmu ekonomi kejadian ini disebut sebagai elastisitas permintaan.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan bahwa 12,4% dari pendapatan masyarakat menengah ke bawah digunakan untuk konsumsi rokok. Bahkan, jumlah uang yang digunakan untuk membeli rokok tujuh kali lipat lebih banyak dibanding pengeluaran lauk pauk. Ironisnya, hal ini terjadi di tengah ancaman krisis ekonomi akibat pandemi corona yang seharusnya masyarakat lebih mengutamakan pemenuhan gizi dibandingkan rokok. Kenyataan ini menunjukkan kepada kita bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan diri masih sangat rendah.

Apakah kenaikan cukai rokok tidak berpengaruh terhadap ekonomi petani tembakau?

Perlu digarisbawahi, naik-tidaknya cukai rokok tidaklah memberi dampak signifikan terhadap taraf hidup petani tembakau. Kesejahteraan mereka sebanarnya bergantung pada kebijakan pabrik rokok yang secara sepihak menentukan harga dan kualitas daun tembakau. Jadi, kesejahteraan petani tergantung harga yang diberikan oleh pabrik rokok. Berikan saja harga tembakau yang tinggi kepada petani, ekonomi mereka akan tetap terjamin.

Kenapa pabrik rokok tidak ditutup saja, bukankah itu akan menuntaskan permasalahan hingga ke akarnya?

Renny Nurhasana, Dosen dan Peneliti Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI dalam talk show ruang publik KBR mengatakan bahwa tidak sesederhana itu untuk menutup pabrik rokok. Ia memberi contoh mengenai kondisi di negara Thailand. Di sana, perusahaan rokok dimiliki oleh negara. 

Tentu mudah saja bagi negara tersebut untuk menutup perusahaan rokok, karena bukan kepemilikan swasta. Namun hal tersebut tidak dilakukan mengingat selama prevalensi merokok masih tinggi, di Thailand sebesar 19%, penutupan perusahaan rokok pasti akan menimbulkan impor rokok. Begitu pula di Indonesia dengan angka prevalensi sebesar 33%. Jika angka prevalensi masih tinggi maka dipastikan akan terjadi impor kalau produsen rokok ditutup.

Kesimpulannya, situasi di tengah pandemi Covid-19 ini merupakan momentum terbaik bagi pemerintah untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Idealnya, kenaikan tarif cukai akan berdampak pada penurunan konsumsi rokok dan kenaikan penerimaan negara. Namun faktanya, peningkatan jumlah produksi dan konsumsi rokok setiap tahun meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pungutan negara untuk mengurangi konsumsi rokok di Indonesia belum tercapai dan tarif cukai perlu dinaikkan sampai melampaui batas toleransi masyarakat.

"Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun