Mohon tunggu...
Nurmitra Sari Purba
Nurmitra Sari Purba Mohon Tunggu... Programmer - Statistician

Menulis untuk mencerdaskan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Negeri Seribu Kedai Kopi, Melegenda Sebagai Bagian Jihad di Serambi Mekkah

7 Juni 2020   11:48 Diperbarui: 7 Februari 2021   11:56 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya merupakan seorang pendatang di Aceh. Satu hal yang spesial mengenai Aceh bagi saya adalah banyaknya kedai kopi mulai dari pusat kota hingga di pelosok desa.. Tepat sekali jika Tanah Rencong ini juga dijuluki negeri seribu kedai kopi.

Di semua daerah, bahkan desa, terdapat kedai kopi masih ramai pengunjung hingga pagi hari. Ini bisa menjadi tips bagi sobat luar yang mau ke Aceh, kalau sobat tidak memiliki tempat penginapan, begadang saja sampai pagi di kedai kopi. Hotel bermodalkan 10.000 rupiah.

Kopi memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Aceh dan sudah menjadi gaya hidup (lifestyle). Dari siang sampai malam, berbagai lapisan masyarakat mengisi kedai-kedai kopi untuk bersantai minum kopi. Yang muda atau tua, pria atau wanita, miskin maupun kaya, semua berbaur tanpa sekat-sekat pembatas. Bisa dikatakan, kopi sudah ibarat nafas bagi orang Aceh sejak zaman kesultanan Aceh.

Setidaknya ada dua kopi yang sangat terkenal di Aceh sejak era kolonial Belanda, yaitu kopi Ulee Kareng dan kopi Gayo. Kopi Ulee Kareng termasuk jenis kopi Robusta sedang kopi Gayo merupakan jenis kopi Arabika yang termasuk kelas kopi premium. Aceh memang istimewa dengan "emas" hitam nya. Bahkan, brand Kopi Gayo sudah terkenal ke penjuru dunia. Brand besar Starbuck pun banyak menggunakan kopi Gayo. Dalam banyak festival tingkat dunia, kopi Gayo selalu ditempatkan pada posisi tertinggi dalam kasta kopi dunia.

Proses pengolahan bubuk kopi juga menyimpan keunikan tersendiri. Tidak sekadar diseduh dengan air panas, bubuk kopi juga dimasak sehingga aroma dan citarasa kopi yang keluar benar-benar kuat. Kopi yang telah dimasak kemudian mengalami beberapa kali proses penyaringan menggunakan saringan berbentuk kerucut. Teknik penyaringan ini memiliki persamaan dengan teknik menyaring kedai kopi etnis Tionghoa yang tersebar di sepanjang Selat Malaka, seperti di Singapura, Penang, Malaka, Batam, Pekanbaru, dan Medan. Keduanya sama-sama menggunakan saringan berbentuk kerucut untuk menyaring kopi. Ya, rasa-rasanya, kedai kopi di Aceh tak lepas dari pengaruh warga keturunan Tionghoa.

Meskipun kopi membudaya di Aceh, tanaman itu bukan tanaman asli tanah rencong. John R Bowen, seorang antropolog, dalam buku Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989, menyebut tanaman kopi dibawa Belanda ke Aceh pada awal abad ke-19. Pada tahun 1924, Belanda mulai mendatangkan investor Eropa guna membuka lahan kopi di kawasan dataran tinggi Gayo. Saat ini, Gayo (Kabupaten Aceh Tengah, Benar Meriah, dan Gayo Lues) memiliki seratus ribu hektar perkebunan kopi.

Tahukah kamu? Kupi (kopi) merupakan bagian dari jihad di negeri Serambi Mekkah.

Kebiasaan ngupi (ngopi) bahkan terpahat di pintu masuk makam Teuku Umar, Meulaboh, Aceh Barat.

"Singeuh bengoh tajep kupi di Keude Meulaboh atau lon akan mate syahid lam prang suci".

"Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau saya akan syahid di Perang Suci."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun