Mohon tunggu...
Taufikul
Taufikul Mohon Tunggu... Editor - www.receh.in

blogger www.receh.in

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hei, Kecoak!

12 Juni 2011   10:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"hei, tuhan...apa kabarmu hari ini? apakah kau bisa menjawab dengan kata-kata klise dan membosankan seperti yang kami miliki? hei, tuhan... aku menyapamu sekadar untuk memastikan bisa kusebut sebuah nama. hei, tuhan, tidak sulit kan untuk menjawab pertayaanku, apa kabarmu?!" kusembunyikan tulisan itu dalam selembar kertas di samping kecoak yang mati siang tadi. sudah banyak semut merubung, mereka memutilasi bagian-bagian yang paling lunak. sedangkan di samping meja, tempat kutaruh sebuah pena mati, seekor kucing menatap langit-langit dengan malas. "aku lelah sekali," uajrnya pada kekosongan. siang itu panas. daun jendela kamarku sampai harus mengeluh berkali-kali dengan deritnya, "hai, sang pemilik kamar, keluarlah dan rasakan bagaimana matahari ini membakar segala sesuatu." angin masuk dan keluar seenaknya. aku tertunduk lama hanya untuk memastikan kaki kecoak itu terpotong. semut-semut merah memandangiku, "hai, manusia busuk, kumakan kau nanti kalau mati!" aku melihat pantat semut yang mulus menyenggol jempol kakiku. tubuh semut itu tergencet kaki sebelum mampu memakanku. kualihkan mataku pada kertas berisi tuhan itu. tak ada ide apapun... hanya sebuah kertas kuyu, tempat tuhan teringkas di sana. semut-semut menaiki kertas itu, mungkin mencari-cari tuhan... atau sisa-sisa remah roti. kecoak itu terjungkir. para semut yang serakah memotong lagi kaki yang lain dan berusaha menariknya ke semua arah. mereka mendekatkan kecoak itu dengan kertasku. jendela kembali meneriakkan kata-kata makian, "hai bangkai tua, keluarlah... rasakan panas itu." aku ingin menyempal jendela itu biar tak berisik. ingin kubanting ia ke sungai depan itu. biar ia rasakan menjadi hal-hal tak berguna, sepertiku. tapi aku tidak pernah melakukannya. para semut menaiki kertas tempat kutuliskan sapaan pada tuhan, mereka tamapaknya tidak punya sopan santun. tapi aku juga tidak punya sopan dan santun, aku hanya punya rumah kerdil dan satu jendela. aku keluar dan masuk ke dalam ke-absurd-an lewat jendela itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun