Mohon tunggu...
Bahas Sejarah
Bahas Sejarah Mohon Tunggu... Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Bangsanya Sendiri

Berbagi kisah sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Strategi Jitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX Menghadapi Jepang

4 Maret 2023   09:05 Diperbarui: 4 Maret 2023   09:13 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diorama Selokan Mataram di Museum Benteng Vredeburg, Jogjakarta (sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Kisah ini bermula sejak masa kedatangan Jepang ke Indonesia pada tahun 1942. Seperti kita ketahui, tatkala Jepang menguasai Indonesia, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer kala itu tentu lebih memprioritaskan kepentingan perang. Khususnya kepada kepentingan militer Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

Tidak ada toloransi bagi perkembangan politik atau organisasi yang sempat terbangun pada masa kolonial Belanda. Semua harus sesuai dengan kebijakan politik Jepang yang otoriter dan militeristik. Bagi siapapun yang berani melanggar, maka ia akan dihadapkan dengan hukuman yang setara dengan kejahatan perang.

Baik dalam kebijakan politik, sosial, budaya, ataupun ekonomi, semua diatur dan diawasi secara ketat oleh Kempetai (polisi rahasia Jepang) kala itu. Bahkan para tokoh Republik hampir semuanya ditangkapi, walau diantara mereka yang memiliki kharisma tinggi, akan diajak bekerjasama.

Seperti halnya Bung Karno, Bung Hatta, K.H. Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantara, dan bahkan Susuhunan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Medio 1942-1943 adalah masa-masa paling berat yang dialami rakyat Indonesia. Hasil bumi semua diserahkan kepada Jepang. Tinggal sisa rakyat yang makan seadanya dengan pakaian pun terbuat dari karung goni. Belum lagi kebijakan kerja paksa.

Sultan Hamengkubuwono IX yang kala itu menjabat sebagai Raja Jogjakarta, melihat kerja paksa sudah tidak mungkin lagi dijalankan.

Kiranya demikian kisahnya mengenai siasat jitu Sultan dalam menghadapi kebijakan Jepang ini...

Telah disinggung di awal, bahwa kedatangan Jepang faktanya memberikan dampak yang begitu buruk bagi rakyat Indonesia, puncaknya di tahun 1943. Kebijakan yang paling menyengsarakan kala itu adalah Romusha. Dimana rakyat Indonesia dipaksa menjadi pekerja kasar untuk membangun berbagai fasilitas perang Jepang.

Baik dalam kepentingan militer ataupun pemerintahan. Tetapi yang paling fatal adalah pengiriman para Romusha tersebut ke wilayah luar Indonesia, seperti di Burma atau Malaya. Banyak diantara mereka yang tidak kembali, karena meninggal dunia ataupun terlantar pasca Perang Dunia II berakhir.

Pun di Jogjakarta, walaupun Jepang telah memilih bekerjasama dengan Susuhunan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, faktanya hal itu hanya sebatas kamuflase agar rakyat Jogjakarta tidak melawan. Tujuannya tentu saja terus memberi dukungan kepada Jepang, karena Sri Sultan sebagai Raja telah dianggap mau bekerjasama.

Tetapi maksud Jepang sudah diketahui oleh Sri Sultan, yang kala itu telah mengetahui bahwa Jepang tengah terlibat dalam perang besar di Pasifik. Maka tatkala kebijakan Romusha hendak diterapkan kembali terhadap rakyat Jogjakarta, beliau telah bersiap memberi kejutan.

Sultan tidak lagi menghendaki rakyatnya dijadikan pekerja paksa oleh Jepang. Sesaat sebelum kebijakan tersebut hendak diterapkan kembali, rakyat Jogjakarta malah dihimbau untuk berkontribusi pada proyek Kesultanan.

Proyek yang dikenal dengan Selokan Mataram ini sedianya adalah bentuk pengalihfungsian tenaga rakyat (Romusha). Sri Sultan memberi keyakinan bahwa kala itu kondisi ekonomi Jogjakarta sedang terpuruk akibat kekeringan yang melanda. Maka proyek Selokan Mataran diajukannya sebagai opsi untuk "mendukung" kebijakan Jepang.

Alasannya agar sumber pertanian dan perkebunan dapat kembali berjalan dengan baik. Dengan harapan panen yang melimpah, agar dapat "menguntungkan" Jepang. Nah, disinilah strategi jitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX tepat mengenai sasaran. Jepang percaya terhadap proyek pembangunan sungai sepanjang 31, 2 km yang diajukan oleh Sultan.

Alih-alih Jepang hendak memanfaatkan Sultan, justru Sultan telah memukul Jepang melalui kebijakannya. Tentu saja rakyat secara sukarela menyambut pembangunan proyek besar ini. Karena dapat mengulur waktu terhadap Jepang yang kala itu tengah terdesak oleh Sekutu di front Pasifik. Bahkan Jepang menamai proyek ini dengan nama Kanal Yoshiro.

Proyek pembuatan codetan yang menghubungkan Sungai Opak dan Sungai Progo pun mulai dikerjakan pada tahun 1944. Sewaktu Jepang sudah banyak mengalami kekalahan di berbagai medan peetempuran.

Walau dibawah tekanan Jepang, tetap saja rakyat bekerja dengan giat dalam membangun Selokan Mataram. Sedianya rakyat Jogjakarta sudah mengetahui bahwa proyek ini adalah bentuk pengalihan dari Sultan. Rakyat Jogjakarta pun selamat dari kekejaman Jepang. Walau aksi kekerasan Jepang tetap terjadi ketika proyek ini dilaksanakan.

Hingga kini, Kanal Yoshiro atau Selokan Mataram dapat dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Khususnya untuk pengairan, yang ditujukan pada sektor pertanian dan perkebunan. Juga untuk kepentingan sumber air rakyat.

Semoga ulasan ini dapat bermanfaat. Apalagi saat kita berkunjung ke Jogja. Seraya mengingatkan kita bahwa sejarah bangsa dapat kita nikmati keeksotikannya melalui ragam kisah dibaliknya. Selamat berakhir pekan. Terima kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun