Mohon tunggu...
Novi Fatonah
Novi Fatonah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Penulis, Akademis, Aktivis; Kembang Kempis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Muharam, Asyuro, dan Pesan dari Karbala

10 September 2019   13:55 Diperbarui: 10 September 2019   14:16 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
trekearth.com karbala-ashora by kohdarmiansali

Sebagian Muslim menyambut perayaan Muharram dengan berbagai tradisi tersendiri dari mereka masing-masing. Muharam adalah bulan pertama dalam penanggalan hijriyah, dan tepat tanggal 1 Muharram adalah tahun baru bagi umat Islam. Tradisi ini oleh sebagian Muslim di Indonesia diisi dengan melakukan sujud syukur sebagai ungkapan penuh kasih kepada Sang Maha Kasih karena telah mengasihi hidup mereka kurang lebih selama setahun. Tidak sampai disitu, kegiatan tersebut juga diiringi dengan sebuah harapan dan cita-cita dari jutaan jiwa-jiwa Muslim terkhusus di Indonesia.

Sebagian Muslim di dunia tidak berhenti memperingati kegiatan Muharram sampai disitu. ada sebagian Muslim yang memperingati bulan Muharram ini pada hari ke-10. Ya, sebagian menyebutnya sebagai hari Asyuro. Asyuro adalah sebutan dalam bahasa Arab yang berarti kesepuluh. Hari asyuro berari hari ke-10 pada bulan Muharram. Orang Jawa menyebutnya dengan suro, sementara di Jawa Barat tradisi Suro diperingati dengan membuat bubur merah dan putih yang biasa disebut dengan bubur sura.

Berbagai kajian dan ceramah-ceramah di masyarakat, Asyuro diartikan sebagai hari dimana Allah menolong nabi-nabiNya dalam menghadapi orang-orang dzalim. Misalnya Nabi Ibrahim yang terbebas dari raja dzalim Namruz, Nabi Yunus yang keluar dari perut ikan paus, Nabi Musa yang luput dari kejaraan bala tentara Fir'aun, atau Nabi Muhammad yang sempat lepas dari makanan yang telah diracun orang Yahudi.

Namun, lepas dari itu semua ada sebagian dari kalangan Muslim yang memaknai Asyuro sebagai tragedi kesedihan atas wafatnya cucu Rasulullah SAW yakni al Husein di Karbala. Habib Rizieq dengan tegas membolehkan umat untuk menangisi tragedi yang menimpa Husein cucu Rasulullah SAW itu. 

Alasannya, karena tangisan tersebut dinilai sebagai tangisan Mahabbah (cinta yang dalam) kepada ahlul bait atau keturunan Rasul. Tangisan tersebut bukanlah tangisan cengeng, melainkan tangisan yang membangkitkan jiwa untuk melawan setiap ketidakadilan di muka bumi ini. Oleh Muslim Syiah di Indonesia misalnya, Asyura dimaknai sangat dalam yakni sebagai hari berkabung atas tragedi yang menimpa Husein, cucu Nabi SAW. Mereka menangisinya dalam rangka melestarikan nilai-nilai perjuangan dari Husein. Mereka mengenang tragedi tersebut untuk tetap menjaga dan menghidupkan pesan dari Husein atas apa yang terjadi di Karbala.

Ada beberapa pesan yang terbawa. Pertama, pada dasarnya manusia menolak ketidakadilan dalam segala bentuknya. Berkabung dalam tragedi karbala adalah bentuk dari memperjuangkan keadilan dan meraih kebebasan untuk mencapai kehormatan diri sebagai manusia sejati.  Kedua, memperingati tragedi tersebut sebagai sarana memperbaiki diri sendiri untuk mencapai kebaikan yang lebih tinggi. Mengenang tragedi tersebut selain sebagai napak tilas, pun sebagai sarana  mendorong diri  untuk bekerja lebih keras demi menegakan keadilan di atas bumi ini. Setiap air mata yang dicucurkan adalah energi untuk penguat dalam bekerja dan bergerak siang dan malam demi mencapai keadialan sosial dan kepatuhan kepada hukum-hukum Allah SWT sebagai bagian dalam menjalankan kewajiban agama, moral dan sosial.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun