oleh:Novia marito
                                              santri mas kmi diniyyah putri
Tradisi Nyadran masih menjadi salah satu bentuk kearifan lokal yang terus lestari di tengah arus modernisasi, khususnya di kalangan masyarakat Jawa. Tradisi ini merupakan wujud penghormatan kepada para leluhur melalui kegiatan doa bersama dan pembersihan makam, yang secara turun-temurun dilaksanakan oleh masyarakat, terutama menjelang bulan suci Ramadan.
Dalam masyarakat Jawa, tradisi ini juga dikenal dengan sebutan Ruwahan, mengacu pada bulan Ruwah dalam kalender Jawa---bulan yang mendahului Ramadan. Pada bulan inilah masyarakat biasanya melakukan serangkaian ritual spiritual yang berpadu dengan kegiatan sosial dan budaya. Nyadran tidak hanya mengandung dimensi keagamaan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, serta penghargaan terhadap sejarah dan warisan leluhur.
Seiring perkembangan zaman, praktik Nyadran mengalami akulturasi budaya yang cukup signifikan. Dari semula hanya berupa ziarah dan doa bersama di makam leluhur, kini Nyadran juga menjadi ruang ekspresi budaya, dengan hadirnya berbagai kesenian tradisional seperti wayang kulit, klenengan, kenduri, hingga pertunjukan rakyat yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
"Tradisi Nyadran adalah bentuk nyata dari spiritualitas yang menyatu dengan budaya. Ini menjadi sarana refleksi, tidak hanya secara individu, tetapi juga secara sosial. Masyarakat diajak untuk merenungkan kembali hubungan mereka dengan leluhur, dengan sesama, dan dengan lingkungan sekitar," ujar salah satu akademisi
dari Universitas Islam Indonesia (UII), dalam keterangannya pada tahun 2024.
Selain nilai-nilai spiritual, Nyadran juga berperan penting dalam menjaga kohesi sosial. Kegiatan ini mempertemukan berbagai kalangan masyarakat dalam satu ruang kebersamaan, yang memperkuat solidaritas dan mempererat ikatan kekerabatan.
Pelestarian tradisi seperti Nyadran menjadi penting di tengah perubahan sosial yang cepat. Ia menjadi benteng budaya yang menjaga identitas, sekaligus warisan budaya tak benda yang patut dijaga dan dilestarikan oleh generasi muda.
Dengan segala nilai luhur yang dikandungnya, Nyadran tidak hanya menjadi ritual tahunan semata, tetapi juga simbol dari keluhuran budaya Jawa yang hidup dan terus berkembang di tengah masyarakat modern.
 Secara etimologis, kata Nyadran atau Sadranan diyakini berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata "dzikir" yang berarti mengingat, atau "adr" yang berarti dada atau hati. Hal ini menggambarkan bahwa Nyadran adalah momen untuk merenung, mengenang, dan mendoakan arwah leluhur dengan hati yang khusyuk dan penuh rasa hormat. Secara umum, kegiatan ini meliputi ziarah kubur dan pembersihan makam keluarga atau leluhur, yang kemudian dilanjutkan dengan doa bersama, tahlilan, dan diakhiri dengan kenduri atau sedekahan. Dalam beberapa komunitas, kegiatan ini juga dilengkapi dengan acara kirab budaya atau arak-arakan yang menampilkan berbagai kesenian tradisional seperti rebana, pertunjukan wayang, dan tarian khas daerah setempat